Minggu, 06 November 2011

Hikmah Idul Adha


Naskah Khutbah Idul Adha 1432 H:
HIKMAH IDUL ADHA
MOH. TAUFICK HIDAYATTULLOH


اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (×3)اللهُ اَكبَرْ (×3
 اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ اْلحَمْدُ
 اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلاَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ.اللهُ اَكْبَرْ (3×) اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ وَاَشْهَدٌ اَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْ
اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْن
Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
Pada pagi hari yang penuh berkah ini, kita umat Islam berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha. Bersama-sama kita ruku’ dan sujud sebagai ujud ketaatan, ketundukan dan kepasrahan kepada Allah SWT. Alunan takbir dan tahmid kita gemakan, sebagai pernyataan dan pengakuan atas kemaha agungan Allah SWT. Takbir dan tahmid yang kita kumandangkan, adalah pengakuan, syahsisah, kesaksiaan, bahwa tidak ada yang pantas ditakuti, tidak ada yang pantas disembah, kecuali Allah SWT.
Oleh karena itu, melalui mimbar ini, saya mengajak kepada diri saya sendiri dan juga kepada hadirin sekalian; Mari kita sempurnakan ketawqaan kita kepada Alloh SWT. Mari tundukkan kepala dan jiwa kita di hadapan Allah Yang Maha Besar. Campakkan jauh-jauh sifat keangkuhan, dan kesombongan yang dapat menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun pangkat dan kebesaran yang kita sandang, sesungguhnya kita kecil di hadapan Allah. Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita di depan manusia, sungguh tiada daya di hadapan Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
Kemarin, sejak tergelincirnya mata hari pada tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arofah) sampai terbit fajar hari Nahar tanggal 10 Dzulhijjah ini, jutaan umat Islam se-Dunia, berkumpul di Arofah, tengah menunaikan rukun haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Mereka semua memakai pakaian yang sama, serba putih dan tidak berjahit, yang di sebut pakaian ihram, melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup, persamaan tatanan nilai, persamaan dalam segala segi bidang kehidupan, persamaan hak dan persamaan kewajiban sebagai hamba Alloh.
Semua larut dalam kebersamaan dan universalitas uluhiyyah, berangkat dari panggilan hati dan semangat penghambaan kepada Tuhan yang sama, seraya mengumandangkan seruan yang sama :
لبيك اللهم لبيك لبيك لاشريك لك لبيك ان الحمد والنعمة لك والملك لاشريك لك
Aku datang memenuhi panggilanMu ya Alloh, aku datang memenuhi Panggilan Mu, tidak ada sekutu bagiMu, aku datang memenuhi panggilanMu, sesungguhnya segala puji, ni’mat dan segenap kekuasaan adalah milikMu, tidak ada sekutu bagiMu.
Karena kebersamaan Idul Adkha dengan peristiwa haji itulah, maka Yaumu ‘Idul Adkha sering disebut dengan Hari Raya Haji.
Disamping dinamakan hari raya haji, Idul Adha juga disebut Yaumu Nahr, hari penyembelihan atau ’Iedul Qurban, karena pada hari itu, terjadi peristiwa besar dalam sejarah ketauhidan, yakni peristiwa penyembelihan Ismail AS oleh Ibrahim AS, atas perintah Alloh SWT, sebagai ujian atas ketaqwaan dan kecintaan sang khalil, Rosul pilihan, Ibrahim AS, kepada Alloh SWT., dan kemudian oleh Alloh SWT, Ismail AS diganti dengan seekor kambing, sehingga umat Islam disyariatkan untuk melakukan ibadah qurban, yakni memotong binatang ternak, baik kambing, sapi, atau unta, untuk dibagikan kepada sesama, sebagai ketegasan sikap, bahwa kesempurnaan keIslaman kita, tidak hanya terletak pada kualitas ketulusan penghambaan kepada Alloh, tetapi juga kerelaan berbagi kapada sesama.
Sungguh tiada habisnya menceritakan peristiwa besar itu, dan sangat relevan kalau kejadian tersebut dikemukakan kembali untuk menggugah kesadaran kita akan makna penghambaan, kecintaan dan pengorbanan, mengingat kian menipisnya kesadaran dalam hati masing-masing kita untuk berkorban bagi sesama.
Pengorbanan demi pengorbanan yang ditunjukkan Nabiyullah Ibrahim AS beserta keluarganya, adalah teladan paripurna atas tumbuhnya ketulusan tak bertepi, serta totalitas kepasrahan akan kemahakuasaan robbul jalil, menjadi titian sejarah yang tak pernah lekang oleh zaman, tercatat dengan pena emas dalam lembar sejarah kehidupan manusia.
Haji dan Qurban, adalah dua peristiwa besar dalam lembar catatan pengesaan Tuhan, risalaatut taukhid, yang kesemuanya merupakan napak tilas dari sejarah kehidupan keluarga agung, keluarga Ibrahim AS.

اللهُ اَكْبَرْ (×3)لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ اْلحَمْدُ
Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Pengorbanan besar Nabi Ibrahim yang patut dikenang antara lain, masa ketika beliau dalam puncak kebahagiaan, karena baru saja dikaruniai anak, Ismail AS, setelah sekian lama berkeluarga dan tidak memiliki satupun anak, Alloh SWT memerintahkan Ibrahim AS untuk ‘membuang’ anak dan istrinya ke lembah tandus, gersang, dan tak berpenghuni.
Sungguh perintah yang sangat berat dilaksanakan, namun karna kesempurnaan pengabdian dan ketaqwaan kepada Alloh SWT, semua itu dijalani Ibrahim AS beserta istrinya, Hajar, dan anak semata wayang yang tengah menyusu, Ismail AS dengan penuh keikhlasan dan tawakkal. Ibrahim AS, benar-benar melaksanakan perintah Alloh SWT, meninggalkan istri beserta anak yang sangat dicintainya di tempat yang tandus, gersang, dan kering kerontang, bahkan saking tandusnya, hingga tiada sejumput rumputpun yang tumbuh disekitarnya. Hanya batu-batu karang dan padang pasir gersang tak bertepi.
Maka, ketika Hajar dalam puncak kecemasan karna tiada lagi bekal hidup, tiada lagi air untuk diminum, sementara udara panas kegersangan membakar tenggorokan, hingga Ismail AS kecil terus menangis, Hajar terus berlari-lari kecil, dari Bukit Shoffa ke Marwah, dan dari puncak ke puncak, selalu dilihatnya bayangan fatamorgana, seperti air ditempa sinar matahari, namun saat didekati tidak pernah ada air yang seolah terlihat dalam pandangannya, dan tanpa kenal lelah, mengingat tangis Ismail yang tak kunjung terhenti, dengan penuh tawakkal dan pengharapan, terus saja ditempuhnya puncak Shofa – Marwah, bahkan sampai tujuh kali, dan saat Hajar nyaris didera keputus asaan, Alloh SWT menebus pengorbanan Hajar tersebut dengan memunculkan mata air pada batu yang digetarkan oleh hentakan kaki Ismail AS yang terus menangis kehausan.
Mata air yang kemudian dikenal dengan Zam-zam inilah, yang merubah Makkah sebagai daerah tandus, gersang dan tak berpenghuni, menjadi pusat persinggahan kafilah yang melintas untuk mengambil bekal air, hingga kemudian makin menjadikannya magnit atas keramaian sebuah wilayah, menjadi daerah yang subur, ramai dan hidup sepanjang waktu.
Hal itu merupakan bukti atas terkabulnya do’a Ibrahim AS, sebagaimana dapat kita lihat dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqoroh : 126 :
 





Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali."
Beberapa saat ketika Ibrahim AS kembali ke Mekah untuk menjenguk anak dan istri yang ditinggalnya, beliaupun terhenyak oleh perubahan mencolok yang terjadi berbanding saat ditinggalkan, dan sebagai ungkapan rasa syukur, serta pengingat bagi anak turunan serta masyarakat sekitar, kemudian Nabiyullah Ibrahim AS beserta putranya, ismail AS membangun tempat peribadatan, sebagai wahana taqorrub ilalloh, Pendekatan kepada Alloh SWT, yakni baitulloh, ka’bah. Kisah keteladanan penuh makna ini dijadikan ritual utama pelaksanaan ibadah haji, sebagai napak tilas atas perjalanan tauhid untuk ditauladani oleh seluruh umat Islam.

 اللهُ اَكْبَرْ (×3)لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ للهِ اْلحَمْدُ
Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Sebagaimana saya kemukakan di muka, bahwa Yaumu Idul Adha juga disebut dengan Yaumun Nahr, artinya Hari Pemotongan binatang ternak. Hal inipun tidak lepas dari kisah keteladanan keluarga Ibrahim AS, yakni saat Ibrahim AS diuji kesabaran dan ketabahannya dalam menjalankan perintah Alloh SWT untuk menyembelih putra semata wayang yang begitu dicintai, disayangi, dan diharapkan menjadi penerus perjuangan serta pewaris kebesaran keluarga Ibrahim yang berlimpah harta. Satu-satunya anak yang semenjak kecil hidup dalam pengasingan bersama ibunya, besar tanpa pelukan kasih sayang sang ayah, dan baru saja berkumpul, hidup bersama, kini diminta oleh Alloh, untuk disembelih dengan tangannya sendiri, sebagai persembahan dan ujian atas ketaqwaan.
Perintah penyembelihan Ismail, merupakan ujian atas ketulusan dan ketaatan Ibrahim AS yang bergelar kholilulloh, kekasih Alloh. Gelar ini membuat iri para malaikat. Maka, Alloh SWT bermaksud bermaksud menguji kecintaan Ibrahim AS kepada Alloh SWT, sekaligus memberi jawab atas keirian malaikat tersebut.
Ibrahim AS., adalah sosok pengusaha yang kaya raya. Disebutkan dalam Kitab Misykatul Anwar, bahwa kekayaanya terdiri dari puluhan ribu ekor ternak, dan suatu saat ketika Ibrahim AS ditanya oleh seseorang  Milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.” Ungkapan inilah yang dijadikan bahan ujian ketaqwaan bagi Ibrahim AS oleh Alloh, yakni melalui mimpi agar ia menyembelih anaknya, Ismail.
Mendapat mimpi seperti ini, Ibrahim AS menyampaikan hal tersebut kepada sang anak :
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS Asshaffat: 102)

Dengan bulat hati, Ibrahim AS melaksanakan perintah Alloh tersebut. Segala goda, rayu dan tipu daya iblis, baik kepada Ibrahim AS, Hajar, maupun Ismail AS., sang anak yang akan disembelih, tidak berpengaruh sedikitpun pada kebulatan tekad Ibrahim AS, Ismail AS, dan Hajar untuk melaksanakan perintah Alloh tersebut. Tiap Iblis datang menggoda, dilemparnya dengan batu agar pergi dan tidak menggangu kebulatan tekad keluarga Ibrahim tersebut. Maka dalam ibadah haji, tindakan melempar Iblis tersebut diabadikan dengan ritual melempar Jumrah.
Ibrahim AS memantapkan niatnya. Ismail AS dengan penuh tawakkal, menerimanya dengan pasrah bulat-bulat, dan ketika pisau hendak diayunkan, Alloh SWT meminta Ibrahim AS untuk menghentikan perbuatannya, dan sebagai imbalan atas keikhlasan mereka, Allah mengganti perintah menyembelih Ismail AS dengan menyembelih seekor kambing sebagai korban.
Menyaksikan semangat pengabdian dan ketulusan pengorbanan tiada terhingga dari seluruh keluarga Ibrahim AS tersebut, Malaikat Jibril mengumandangkan takbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang kemudian disambung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.
Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
Sungguh, segala kisah di muka, adalah kisah keteladanan yang semestinya kita ambil pelajaran darinya.
Dilaksanakannya perintah untuk mengasingkan anak dan istri yang baru melahirkan dan sangat dicintai, serta perintah untuk menyembelih anak semata wayang yang sangat disayangi oleh Ibrahim AS, adalah tauladan akan pentingnya jiwa ketulusan dan kepasrahan total atas apapun kehendak Alloh. Menyikapi semua yang terjadi sebagai kehendak Alloh yang memiliki nilai positif dalam kehidupan kita. Menyadari bahwa pasti ada khikmah di balik semua ketentuan Alloh tersebut. Dengan demikian, apapun cobaan dan musibah bertubi-tubi yang menimpa kita, akan terasa ringan dirasakan, karena didasari semangat kesadaran bahwa semua adalah milik Alloh, dan semua akan kembali kepada Alloh.
Kisah Hajar dan Ismail AS mencari air, adalah pelajaran akan pentingnya bekerja keras, pantang menyerah, serta bersungguh-sungguh dalam berusaha, namun harus selalu dilandasi dengan tawakkal. Hajar, dipersonifkasikan sebagai budak belian berkulit legam, yang pada saat itu merupakan penggambaran kalangan yang tidak memiliki tempat terhormat dalam masyarakat, namun karena kegigihan, ketulusan serta kesempurnaan sikap tawakal yang dimilikinya, ia berhasil menjadi ikon sejarah, dan menjadi teladan sepanjang zaman.
Lempar jumrah, adalah pelajaran nyata akan pentingnya semangat penolakan dan peperangan terhadap iblis, yang merupakan personifikasi, symbol atas segala kejahatan. Tidak pantas, seseorang yang mengaku dirinya beragama Islam, namun masih melakukan tindakan-tindakan jahat yang merugikan orang lain.
Pelaksanaan perintah berqurban, mengajarkan kita untuk tidak menjadikan kecintaan kita kepada hal-hal yang profan, bersifat duniawi, baik itu berupa keluarga, harta benda, bahkan jiwa, adalah segala-galanya, dan menjadikannya sebagai alasan pembenar untuk berbuat dzalim dan aniaya kepada sesama. Risalah qurban adalah penegasan bahwa mengorbankan orang lain untuk dan atas nama apapun, tidak dapat dibenarkan, dan tidak boleh terjadi. Risalah qurban adalah perintah untuk memangkas sifat-sifat kebinatangan pada diri manusia.
Akhirnya, semoga Alloh SWT membukakan hati kita, hati saudara kita, hati para pemimpin kita, untuk meresapi makna kejuangan dan pengurbanan untuk menciptakan kesejahteraan bagi sesama, sehingga cita-cita untuk mewujudkan negeri yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan dapat tercapai.
Mudah-mudahan perayaan Idul Adha kali ini, mampu menggugah kesadaran kita untuk rela berkorban demi kepentingan agama, bangsa dan negara amiin 3x ya robbal alamin.

أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطنِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ





KHUTBAH KEDUA:

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) اللهُ اَكْبَرْ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصْيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَِثيْرًا
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Rabu, 19 Oktober 2011

PEMIKIRAN NEO MODERNISME ISLAM DI INDONESIA


PEMIKIRAN NEO MODERNISME ISLAM DI INDONESIA
Oleh : Moh. Taufick Hidayattulloh[1]

LATAR BELAKANG MASALAH
Seorang Indonesianis asal AS, Greg Barton, telah menulis sebuah artikel yang menyoroti eksistensi pemikiran neomodernisme di Indonesia dalam sebuah artikel yang diberi judul “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, menguji pengaruh gerakan pemikiran neomodernisme sebagai sebuah gerakan pemikiran Islam baru di Indonesia yang muncul secara kontroversial pada permulaan tahun 1970-an  terhadap perkembangan pemikiran keislaman, khususnya di kalangan intelektual muda muslim.[2]
Paper Greg Berton ini mempertegas bahwa gerakan pemikiran baru ini hadir dengan memadukan tradisionalisme Islam, modernisme dan pendidikan Barat. Gerakan pemikiran ini dikembangkan oleh generasi pemikir yang berlatar belakang tradisionalis. Semasa mudanya mereka mengenyam pendidikan keagamaan pesantren dan pergi untuk mengadopsi corak pemikiran Barat modern dan perguruan tinggi.
Meskipun secara geografis berada di pinggiran, namun secara objektif tidak dapat lagi dikatakan kurang berperan dalam dunia Islam. Dengan jumlah penduduk melebihi 200 juta, 88 persennya (sekitar 175 juta) adalah muslim, Indonesia dianggap sebagai negara muslim terbesar. Namun demikian, 60 persen penduduk Islam Indonesia di Jawa perlu diteliti karena sebagian corak keberagamannya masih dicampuri elemen-elemen pra-Islam seperti Hindu-Buddha dan kepercayaan animisme. Contoh klasik tentang penelitian ini dapat dilihat dalam buku terkenal Clifford Geertz, The Religion of Java.[3]
Meskipun dalam buku itu Geertz memberikan deskripsi secara mengagumkan tentang kehidupan suatu kampung di Jawa Timur pada tahun 1950-an, namun ia membuat beberapa kesalahan serius dalam analisisnya. Sejak tahun 1950, tampak bahwa Islam tradisional dan pemimpin-pemimpin tradisional telah siap menghadapi tekanan dari elemen-elemen modern.
Pada periode ini aktivitas partai politik telah berjalan sealur dengan garis-garis Barat modern. Beberapa ulama jebolan pesantren telah menempuh berbagai pendidikan modern. Para pemimpin Islam tradisional sampai tahun 1950 telah berhimpun dengan organisasi kelompok muslim modern yang bernama Masyumi. Mereka sebelumnya telah berpengalaman dalam menjalin satu kekuatan dan bergandengan tangan dalam wadah Persatuan Islam ketika menghadapi pendudukan Jepang dan sama-sama berjuang demi kemerdekaan. Persatuan politik mereka dalam Masyumi pecah pada tahun 1952 dengan keluarnya NU dan memunculkan NU sebagai partai politik independen.
Sejak saat itu, muncul babak baru dalam peta pemikiran keagamaan yang tegas-tegas memolarisasi pemikiran keagamaan di Indonesia dalam dua kutub, yaitu tradisionalisme dan modernisme. Meskipun demikian, perlu dikemukakan bahwa pernah muncul dari kalangan tradisionalisme seorang tokoh bernama Kiai Wahid Hasyim, yang sebelum meninggal dalam kecelakaan mobil 1953 mampu membangun komunikasi antara modemisme dan tradisionalisme.
Salah satu bidang garapan pokok dari kelompok modernisme di Indonesia adalah memperluas semaksimal mungkin kegiatan pendidikan bagi rakyat. Salah satu organisasi dari kalangan modernis seperti Muhammadiyah mempunyai kebanggaan sejarah atas pembangunan sekolah-sekolah dan perluasan kesempatan pendidikan ketika berbagai kesulitan menimpa bangsa. Sampai tahun 1970-an, beberapa intelektual modernis di Indonesia telah memperoleh pendidikan Islam klasik tentang Bahasa Arab, Al-Quran, dan hukum-hukum klasik dari pakar. Di antara mereka ada sejumlah nama yang sudah akrab dengan pandangan modern dan berbagai pemikiran ilmiah seperti Muhammad Natsir, Deliar Noer, Mukti Ali dan Harun Nasution.
Babak baru menandai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia ketika para alumni pesantren dari lingkungan pesantren (tradisional) pada tahun 1960-an mulai memasuki dunia pendidikan modern di Barat. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah generasi pertama yang berada dalam tepian dua tradisi keilmuan ini. Lingkungan keilmuan Islam klasik dan Modern (Barat) secara bersama-sama membawa pengaruh kuat bagi keduanya.
Dalam konteks pembaruan ini, sumbangan sistem UIN dalam mereformasi Islam benar-benar penting. Pembentukan UIN, yang diawali dengan UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, secara tidak langsung memberi kesempatan pertama bagi mayoritas keluaran pesantren untuk menempuh studi di jenjang perguruan tinggi. Sejak tahun 1960-an UIN tetap mempertahankan ketertutupannya dengan model al-Azhar. Secara pelan-pelan, proses perubahan nampak dengan transformasi UIN menjadi lembaga yang mengombinasikan kajian Islam tradisional dengan pendekatan-pendekatan kajian modern. Dengan masuknya Harun Nasution di UIN Syarif Hidayatullah dan Mukti Ali di UIN Sunan Kalijaga pada akhir tahun I960-an, membawa pengaruh progresif di kalangan mahasiswa dengan mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis termasuk terhadap dasar-dasar keimanan serta menggunakan pendekatan kritis dalam kajian keislaman.

RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang hendak diurai dalam pembahasan ini adalah, berangkat dari pertanyaan ;
Pertama, Apakah munculnya gerakan neo modernisme Islam di Indonesia ini merupakan sesuatu yang muncul dengan sendirinya (indogeneous), berbasis lokalitas, atau dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain trend pemikiran dari negara lain, atau reaksi atas munculnya gerakan lain.
Kedua, Apakah gerakan neo modernisme Islam di Indonesia ini memiliki korelasi positif dengan pembentukan kepemimpinan yang demokratis, tegaknya keadilan, serta konsep-konsep lain yang mendorong upaya kehidupan bernegara yang modern, atau hanya menjadi gerakan pemikiran an sich, yang tidak ada kaitannya apapun denan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, apakah gerakan neomodernisme Islam di Indonesia mempunya tendensi untuk menyingkirkan, atau bahkan menghilangkan eksistensi kalangan Islam tradisionalis, sebagaimana terjadi antara gerakan modernism dengan gerakan tradisionalisme di masa lalu.

PEMBAHASAN
Fazlur Rahman memetakkan empat gerakan pembaruan Islam yang pernah muncul sepanjang dua abad dalam dunia Islam. Pertama, gerakan revivalisme Islam, yang ditandai dengan gerakan Wahabisme dan Sanusisme. Kedua, gerakan modernisme Islam atau modernisme klasik. Ketiga, gerakan neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme. Keempat, gerakan neomodernisme. Gerakan terakhir ini muncul di kalangan intelektual muda yang ingin kembali pada semangat modernisme awal, namun mencari kombinasinya dengan warisan kekayaan keilmuan Islam klasik. Neomodernisme muncul sebagai respons terhadap berbagai kelemahan yang melekat dalam gerakan pembaruan sebelumnya.
Menurut Fazlur Rahman, meskipun modemisme klasik benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan.
Pertama, ia belum menguraikan secara tuntas metodenya yang semi-implisit terfokus dalam menangani masalah-rnasalah khusus dan belum menguraikan implikasi da prinsip-prinsinp dasar yang dibangunnya. Mungkin lantaran perannya sebagai reformis terhadap masyarakat Muslim dan sebagai kontroversialis-apologetik terhadap Barat telah menjadikannya terhalang untuk melakukan inrerpretasi sistematis dan menyeluruh terhadap Islam dan menyebabkannya membahas beberapa masalah penting di Barat secara ad hoc.
Kedua, masalah-masalah ad hoc yang dipilihnya merupakan masalah-masalah bagi dunia Barat sehingga terdapat kesan yang kuat bahwa para modernis klasik telah terbaratkan dan merupakan agen-agen westernisasi.
Gerakan pembaruan harus selalu berjalan dan metodenya harus selalu diperbarui dalam rangka mengembangkan pola pemahaman keislaman yang dinamis-responsif dan menampung dimensi-dimensi perubahan yang dialami umat manusia. Gerakan pembaruan sejalan dengan prinsip Islam yang sangat mendorong pandangan-pandangan dinamis.
Gerakan pembaruan pemikiran Islam secara umum ditandai dengan pemikiran-pemikiran kritis terhadap modernisasi (Barat). Hasilnya berupa tawaran alternatif-alternatif non-Barat dalam membangun dan rnembangkitkan umat Islam dari ketertinggalannya. Kebangkitan Islam merupakan isu yang tumbuh dari sikap kritis para pembaru Muslim dan di dalamnya mencakup gerakan-gerakan intelektual dan sosial-politik cukup beragam, yang meliputi: neo-tradisionalisme (Sayyed Hossein Nashr) dengan kecenderungan bersikap reserve terhadap modernisme; neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme Islam (Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Hassan al-Banna) dengan kecenderungan lebih bersikap reaktif dan anti-Barat serta neomodernisne (Faziur Rahman) yang menampilkan citra revisionistik terhadap reformisme modernis.
Gerakan Neomodernisme berkembang pada akhir 19 dan awal 1970-an, terutama di kalangan mahasiswa yang berlatar belakang tradisional. Komunitas mahasiswa ini merupakan generasi pertama dari muslim tradisional yang memiliki akses pada pendidikan tinggi dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang berlangsung pasca kolonial di Indonesia. Untuk memperluas wawasan keilmuannya, di antara mereka terlibat di puncak organisasi mahasiswa yang berorientasi modern (HMI, PMII)
Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan merujuk pada gerakan pembaruan pemikiran Islam. Namun, gerakan itu akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme, dengan mengikuti paradigma gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman.
Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah keluarnya statemen Nurcholish Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari l970 yang intinya menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga perlu dilakukan pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu menggunakan terma desakralisasi dan sekularisasi dalam papernya sehingga dengan mudah menyulut kritik bernada kemarahan dari berbagai pihak. Kritik itu terurama datang dari tokoh-tokoh modernis senior yang terusik oleh kritikan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa gerakan intelektual para senior telah mandek dan perlu direformasi.
Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai bid’ah[4]. Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid semakin meningkat.[5] Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada Nurcholish Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan dalam komunitas umat Islam, juga penyebaran ide-ide pembaruan dan kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam. Gagasan ini dalam perkembangannya diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan mampu mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar.
Penyebaran gerakan neomodernisme Islam di Indonesia semakin meluas antara lain berkat bergabungnya para intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran neomodernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri.
Gerakan neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri.
Neo-modernisme di Indonesia memiliki beberapa karakteristik, antara lain Pertama, ia berwatak progresif. Hal ini diindikasikan dengan penekanan sikap positif terhadap pentingnya modernitas, kemajuan, dan pengembangan. Ia sangat kritis dalam memperhatikan masalah-masalah keadilan sosial, disertai rasa optimis tentang ke arah mana manusia bergerak maju dan mau mengapreasi jalannya perubahan sosial yang begitu cepat.
Kedua, neo-modernisme seperti halnya fundamentalisme adalah respons rerhadap modernitas, gangguan globalisasi peradaban, dan kebudayaan Barat rerhadap dunia Islam. Tidak seperti fundamentalisme yang melihat Barat sebagai kebalikan Timur, neomodernisme tidak merasa perlu menekankan perbedaan dcngan Barat atau tidak menekankan identitas diri yang terpisah. Neomodernisme secara cerdas dapat mendekati keilmuan dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Kritik rerhadap bagian tertentu budaya Barat bukan berarti hal itu tak dapat direkonsialisikan. Neomodernisme ridak hanya membela ide-ide liberal Barat seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pemisahan agama dengan negara, namun menekankan bahwa ide-ide Islam ini memberi warisan umum rerhadap Barat.
Ketiga, pemikiran neo-modernisme Indonesia menganjurkan jenis sekularisme khusus yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi Indonesia, sehingga keinginan sektarianisme keagamaan tetap terpisah dari keinginan negara atau ada keterpisahan agama dengan negara. Neomodernisme Indonesia berargumentasi bahwa al-Quran dan Hadits tak berisi blue print tentang negara Islam atau tidak menetapkan bahwa negara agama adalah perlu atau mungkin. Atas pemikiran ini, Nurcholish Madjid pernah melontarkan ide kontroversial sekulariasi dan desakralisme. Sekularisasi adalah usaha untuk menduniawikan nilal-nilal yang sudah duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.[6]
Keempat, neomodernisme menghadirkan sebuah kererbukaan, inklusivitas, dan pemahaman liberal Islam yang dapat direrima oleh segala kalangan, pengakuan pluralisme sosial, penekanan perlunya toleransi, dan hubungan harmonis di kalangan masyarakar.
Kelima, neomodernisme dimulai dengan semangat kembali pada abad modernisme (Muhammad Abduh) dengan memerhatikan rasionalitas dalam kegiatan ijtihad ataupun upaya individual dalam interpretasi nash. Kalangan neomodernisme mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual, memerhatikan kekhususan masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan interprerasi baru untuk merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan budaya masyarakat akhir abad ke-20. Bisa dikatakan, neomodernisme menyintesiskan tradisi keilmuan Islam, tuntutan modernis tentang ijtihad, tuntutan ilmu sosial Barat, dan kemanusiaan. Mereka bisa melakukan upaya ini karena mereka berlatar belakang tradisionalis (pesantren atau madrasah) yang dibekali dengan penguasaan Bahasa Arab dan akrab dengan warisan keilmuan Islam klasik. Dengan demikian, secara simultan neomodernisme adalah gerakan kembali pada dasar-dasar modernisme dan menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis, dan tuntutan Barat.[7]

KESIMPULAN DAN PENUTUP
Perkembangan dalam bidang intelektualisme dan pemikiran Islam tampaknya akan terus bergulir dalam dinamika yang bahkan lebih cepat lagi. Ini semakin jelas antara lain dengan bertambah tersedianya sumber daya manusia dan semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pengembangan bidang ini di kalangan kaum muda muslim Indonesia. Melihat perkembangan ini, tidaklah keliru jika Nasir Tamara, misalnya, bahkan secara terang-terangan mengatakan telah terjadinya apa yang disebutnya dengan “renaissance dalam pemikiran Islam” di Indonesia.[8]
Gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia merupakan jawaban atas tuntutan modernitas, yang secara umum ditandai dengan pemikiran-pemikiran kritis terhadap modernisasi (Barat), dan menghasilkan tawaran alternatif-alternatif non-Barat dalam membangun dan rnembangkitkan umat Islam dari ketertinggalan. di dalamnya mencakup gerakan-gerakan intelektual dan sosial-politik cukup beragam, yang meliputi: neo-tradisionalisme dengan kecenderungan bersikap reserve terhadap modernism, neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme Islam dengan kecenderungan lebih bersikap reaktif dan anti-Barat serta neomodernisme yang menampilkan citra revisionistik terhadap reformisme modernis. Gerakan ini banyak diilhami oleh pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman, Sayyed Hossein Nashr, Abul Ala Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Gerakan Ikhwanul Mukminin Hassan al-Banna.
Oleh karena gerakan ini mengidealkan keterlibatan Islam dalam segala sendi kehidupan, dalam berbangsa dan bernegara, maka neomodernisme Islam meniscayakan terbentuknya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipenuhi dengan pemerataan kesejahteraan, jaminan keadilan bagi semua, serta terciptanya peri kehidupan berbangsa yang demokratis, dengan menjadikan pesan isi ajaran Islam sebagai pedoman, bukan pada pesan teks, serta simbolisme dan formalism keagamaan. Gerakan ini menjadi kanal bagi tumbuh dan berkembangnyanya formalism keagamaan dalam sendi-sendi politik kenegaraan.
Bahwa gerakan neomodernisme di Indonesia, banyak dikembangkan oleh generasi pemikir yang berlatar belakang tradisionalis (alumni pesantren dan madrasah), yang dibekali dengan penguasaan Bahasa Arab dan akrab dengan warisan keilmuan Islam klasik, sehingga gerakan ini memiliki misi untuk memadukan tradisionalisme Islam, modernisme dan pendidikan Barat. Gerakan pemikiran ini juga mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual, memerhatikan kekhususan masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan interprerasi baru untuk merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan budaya masyarakat akhir abad ke-20, dan secara simultan menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis, dan tuntutan Barat, sehingga jauh dari kemungkinan melakukan upaya penyingkiran, apalagi permusuhan dengan kalangan tradisionalis, sebagaimana pengalaman sebelumnya yang terjadi antara kalangan tradisionalis dan modern.
Demikian sekilas catatan mengenai Gerakan neo modernism Islam di Indonesia kami buat, sebagai bahan diskusi untuk memperkaya khazanah pemikiran kita tentang kajian-kajian keislaman, semoga menambah pencerahan dalam pemikiran kita. Semoga.. Amin.

Cilacap, Oktober 2011


MOH. TAUFICK HIDAYATTULLOH

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”, dalam M. Dawam Rahardjo, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Azyumardi azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung, Mizan, 1994.
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
---------, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Fachry Ali & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986.
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, diterjemahkan oleh Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikara dan Ford Foundation, 1999.
Greg Barton, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999.
Hiroko Horikoshi , Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Imran Hamzah, dan Chairul Anam, (ed), Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai. Surabaya: PT Jawa Pos, 1989.
Jalaluddin Rakmat. Pluralisme Agama: Akhlaq Al-Qur’an Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006..
J. Dwi Narwoko,– Suyanto, Bagong (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Mochammad Sodik, Gejolak Santri Kota Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
M. Deden Ridwan. Gagasan Nurcholish Madjid: Neo Modernisme Islam Dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan, Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002.
Nurcholish Madjid. Dialog Agama-Agama Dalam Perspektif Universalisme Al-Islam dalam Passing Over: Melinatasi Batas Agama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998.
------------, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1991.
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.




[1] Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Cilacap, Mahasiswa Program Paska Sarjana Magister Pendidikan Islam Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta.
[2] Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999, 334-342. 
[3]  Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), 242. 
[4] Barton, Greg, Indonesia, 172.
[5] Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 171-172
[6] Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), 207.
[7]  Barton, Greg, Indonesia, 345.
[8] Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru,” dalam Majalah Prisma, No. 5., tahun XVII, 1988, hlm. 56.