Rabu, 19 Oktober 2011

PEMIKIRAN NEO MODERNISME ISLAM DI INDONESIA


PEMIKIRAN NEO MODERNISME ISLAM DI INDONESIA
Oleh : Moh. Taufick Hidayattulloh[1]

LATAR BELAKANG MASALAH
Seorang Indonesianis asal AS, Greg Barton, telah menulis sebuah artikel yang menyoroti eksistensi pemikiran neomodernisme di Indonesia dalam sebuah artikel yang diberi judul “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, menguji pengaruh gerakan pemikiran neomodernisme sebagai sebuah gerakan pemikiran Islam baru di Indonesia yang muncul secara kontroversial pada permulaan tahun 1970-an  terhadap perkembangan pemikiran keislaman, khususnya di kalangan intelektual muda muslim.[2]
Paper Greg Berton ini mempertegas bahwa gerakan pemikiran baru ini hadir dengan memadukan tradisionalisme Islam, modernisme dan pendidikan Barat. Gerakan pemikiran ini dikembangkan oleh generasi pemikir yang berlatar belakang tradisionalis. Semasa mudanya mereka mengenyam pendidikan keagamaan pesantren dan pergi untuk mengadopsi corak pemikiran Barat modern dan perguruan tinggi.
Meskipun secara geografis berada di pinggiran, namun secara objektif tidak dapat lagi dikatakan kurang berperan dalam dunia Islam. Dengan jumlah penduduk melebihi 200 juta, 88 persennya (sekitar 175 juta) adalah muslim, Indonesia dianggap sebagai negara muslim terbesar. Namun demikian, 60 persen penduduk Islam Indonesia di Jawa perlu diteliti karena sebagian corak keberagamannya masih dicampuri elemen-elemen pra-Islam seperti Hindu-Buddha dan kepercayaan animisme. Contoh klasik tentang penelitian ini dapat dilihat dalam buku terkenal Clifford Geertz, The Religion of Java.[3]
Meskipun dalam buku itu Geertz memberikan deskripsi secara mengagumkan tentang kehidupan suatu kampung di Jawa Timur pada tahun 1950-an, namun ia membuat beberapa kesalahan serius dalam analisisnya. Sejak tahun 1950, tampak bahwa Islam tradisional dan pemimpin-pemimpin tradisional telah siap menghadapi tekanan dari elemen-elemen modern.
Pada periode ini aktivitas partai politik telah berjalan sealur dengan garis-garis Barat modern. Beberapa ulama jebolan pesantren telah menempuh berbagai pendidikan modern. Para pemimpin Islam tradisional sampai tahun 1950 telah berhimpun dengan organisasi kelompok muslim modern yang bernama Masyumi. Mereka sebelumnya telah berpengalaman dalam menjalin satu kekuatan dan bergandengan tangan dalam wadah Persatuan Islam ketika menghadapi pendudukan Jepang dan sama-sama berjuang demi kemerdekaan. Persatuan politik mereka dalam Masyumi pecah pada tahun 1952 dengan keluarnya NU dan memunculkan NU sebagai partai politik independen.
Sejak saat itu, muncul babak baru dalam peta pemikiran keagamaan yang tegas-tegas memolarisasi pemikiran keagamaan di Indonesia dalam dua kutub, yaitu tradisionalisme dan modernisme. Meskipun demikian, perlu dikemukakan bahwa pernah muncul dari kalangan tradisionalisme seorang tokoh bernama Kiai Wahid Hasyim, yang sebelum meninggal dalam kecelakaan mobil 1953 mampu membangun komunikasi antara modemisme dan tradisionalisme.
Salah satu bidang garapan pokok dari kelompok modernisme di Indonesia adalah memperluas semaksimal mungkin kegiatan pendidikan bagi rakyat. Salah satu organisasi dari kalangan modernis seperti Muhammadiyah mempunyai kebanggaan sejarah atas pembangunan sekolah-sekolah dan perluasan kesempatan pendidikan ketika berbagai kesulitan menimpa bangsa. Sampai tahun 1970-an, beberapa intelektual modernis di Indonesia telah memperoleh pendidikan Islam klasik tentang Bahasa Arab, Al-Quran, dan hukum-hukum klasik dari pakar. Di antara mereka ada sejumlah nama yang sudah akrab dengan pandangan modern dan berbagai pemikiran ilmiah seperti Muhammad Natsir, Deliar Noer, Mukti Ali dan Harun Nasution.
Babak baru menandai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia ketika para alumni pesantren dari lingkungan pesantren (tradisional) pada tahun 1960-an mulai memasuki dunia pendidikan modern di Barat. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah generasi pertama yang berada dalam tepian dua tradisi keilmuan ini. Lingkungan keilmuan Islam klasik dan Modern (Barat) secara bersama-sama membawa pengaruh kuat bagi keduanya.
Dalam konteks pembaruan ini, sumbangan sistem UIN dalam mereformasi Islam benar-benar penting. Pembentukan UIN, yang diawali dengan UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, secara tidak langsung memberi kesempatan pertama bagi mayoritas keluaran pesantren untuk menempuh studi di jenjang perguruan tinggi. Sejak tahun 1960-an UIN tetap mempertahankan ketertutupannya dengan model al-Azhar. Secara pelan-pelan, proses perubahan nampak dengan transformasi UIN menjadi lembaga yang mengombinasikan kajian Islam tradisional dengan pendekatan-pendekatan kajian modern. Dengan masuknya Harun Nasution di UIN Syarif Hidayatullah dan Mukti Ali di UIN Sunan Kalijaga pada akhir tahun I960-an, membawa pengaruh progresif di kalangan mahasiswa dengan mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis termasuk terhadap dasar-dasar keimanan serta menggunakan pendekatan kritis dalam kajian keislaman.

RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang hendak diurai dalam pembahasan ini adalah, berangkat dari pertanyaan ;
Pertama, Apakah munculnya gerakan neo modernisme Islam di Indonesia ini merupakan sesuatu yang muncul dengan sendirinya (indogeneous), berbasis lokalitas, atau dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain trend pemikiran dari negara lain, atau reaksi atas munculnya gerakan lain.
Kedua, Apakah gerakan neo modernisme Islam di Indonesia ini memiliki korelasi positif dengan pembentukan kepemimpinan yang demokratis, tegaknya keadilan, serta konsep-konsep lain yang mendorong upaya kehidupan bernegara yang modern, atau hanya menjadi gerakan pemikiran an sich, yang tidak ada kaitannya apapun denan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, apakah gerakan neomodernisme Islam di Indonesia mempunya tendensi untuk menyingkirkan, atau bahkan menghilangkan eksistensi kalangan Islam tradisionalis, sebagaimana terjadi antara gerakan modernism dengan gerakan tradisionalisme di masa lalu.

PEMBAHASAN
Fazlur Rahman memetakkan empat gerakan pembaruan Islam yang pernah muncul sepanjang dua abad dalam dunia Islam. Pertama, gerakan revivalisme Islam, yang ditandai dengan gerakan Wahabisme dan Sanusisme. Kedua, gerakan modernisme Islam atau modernisme klasik. Ketiga, gerakan neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme. Keempat, gerakan neomodernisme. Gerakan terakhir ini muncul di kalangan intelektual muda yang ingin kembali pada semangat modernisme awal, namun mencari kombinasinya dengan warisan kekayaan keilmuan Islam klasik. Neomodernisme muncul sebagai respons terhadap berbagai kelemahan yang melekat dalam gerakan pembaruan sebelumnya.
Menurut Fazlur Rahman, meskipun modemisme klasik benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan.
Pertama, ia belum menguraikan secara tuntas metodenya yang semi-implisit terfokus dalam menangani masalah-rnasalah khusus dan belum menguraikan implikasi da prinsip-prinsinp dasar yang dibangunnya. Mungkin lantaran perannya sebagai reformis terhadap masyarakat Muslim dan sebagai kontroversialis-apologetik terhadap Barat telah menjadikannya terhalang untuk melakukan inrerpretasi sistematis dan menyeluruh terhadap Islam dan menyebabkannya membahas beberapa masalah penting di Barat secara ad hoc.
Kedua, masalah-masalah ad hoc yang dipilihnya merupakan masalah-masalah bagi dunia Barat sehingga terdapat kesan yang kuat bahwa para modernis klasik telah terbaratkan dan merupakan agen-agen westernisasi.
Gerakan pembaruan harus selalu berjalan dan metodenya harus selalu diperbarui dalam rangka mengembangkan pola pemahaman keislaman yang dinamis-responsif dan menampung dimensi-dimensi perubahan yang dialami umat manusia. Gerakan pembaruan sejalan dengan prinsip Islam yang sangat mendorong pandangan-pandangan dinamis.
Gerakan pembaruan pemikiran Islam secara umum ditandai dengan pemikiran-pemikiran kritis terhadap modernisasi (Barat). Hasilnya berupa tawaran alternatif-alternatif non-Barat dalam membangun dan rnembangkitkan umat Islam dari ketertinggalannya. Kebangkitan Islam merupakan isu yang tumbuh dari sikap kritis para pembaru Muslim dan di dalamnya mencakup gerakan-gerakan intelektual dan sosial-politik cukup beragam, yang meliputi: neo-tradisionalisme (Sayyed Hossein Nashr) dengan kecenderungan bersikap reserve terhadap modernisme; neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme Islam (Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Hassan al-Banna) dengan kecenderungan lebih bersikap reaktif dan anti-Barat serta neomodernisne (Faziur Rahman) yang menampilkan citra revisionistik terhadap reformisme modernis.
Gerakan Neomodernisme berkembang pada akhir 19 dan awal 1970-an, terutama di kalangan mahasiswa yang berlatar belakang tradisional. Komunitas mahasiswa ini merupakan generasi pertama dari muslim tradisional yang memiliki akses pada pendidikan tinggi dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang berlangsung pasca kolonial di Indonesia. Untuk memperluas wawasan keilmuannya, di antara mereka terlibat di puncak organisasi mahasiswa yang berorientasi modern (HMI, PMII)
Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan merujuk pada gerakan pembaruan pemikiran Islam. Namun, gerakan itu akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme, dengan mengikuti paradigma gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman.
Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah keluarnya statemen Nurcholish Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari l970 yang intinya menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga perlu dilakukan pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu menggunakan terma desakralisasi dan sekularisasi dalam papernya sehingga dengan mudah menyulut kritik bernada kemarahan dari berbagai pihak. Kritik itu terurama datang dari tokoh-tokoh modernis senior yang terusik oleh kritikan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa gerakan intelektual para senior telah mandek dan perlu direformasi.
Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai bid’ah[4]. Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid semakin meningkat.[5] Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada Nurcholish Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan dalam komunitas umat Islam, juga penyebaran ide-ide pembaruan dan kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam. Gagasan ini dalam perkembangannya diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan mampu mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar.
Penyebaran gerakan neomodernisme Islam di Indonesia semakin meluas antara lain berkat bergabungnya para intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran neomodernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri.
Gerakan neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri.
Neo-modernisme di Indonesia memiliki beberapa karakteristik, antara lain Pertama, ia berwatak progresif. Hal ini diindikasikan dengan penekanan sikap positif terhadap pentingnya modernitas, kemajuan, dan pengembangan. Ia sangat kritis dalam memperhatikan masalah-masalah keadilan sosial, disertai rasa optimis tentang ke arah mana manusia bergerak maju dan mau mengapreasi jalannya perubahan sosial yang begitu cepat.
Kedua, neo-modernisme seperti halnya fundamentalisme adalah respons rerhadap modernitas, gangguan globalisasi peradaban, dan kebudayaan Barat rerhadap dunia Islam. Tidak seperti fundamentalisme yang melihat Barat sebagai kebalikan Timur, neomodernisme tidak merasa perlu menekankan perbedaan dcngan Barat atau tidak menekankan identitas diri yang terpisah. Neomodernisme secara cerdas dapat mendekati keilmuan dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Kritik rerhadap bagian tertentu budaya Barat bukan berarti hal itu tak dapat direkonsialisikan. Neomodernisme ridak hanya membela ide-ide liberal Barat seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pemisahan agama dengan negara, namun menekankan bahwa ide-ide Islam ini memberi warisan umum rerhadap Barat.
Ketiga, pemikiran neo-modernisme Indonesia menganjurkan jenis sekularisme khusus yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi Indonesia, sehingga keinginan sektarianisme keagamaan tetap terpisah dari keinginan negara atau ada keterpisahan agama dengan negara. Neomodernisme Indonesia berargumentasi bahwa al-Quran dan Hadits tak berisi blue print tentang negara Islam atau tidak menetapkan bahwa negara agama adalah perlu atau mungkin. Atas pemikiran ini, Nurcholish Madjid pernah melontarkan ide kontroversial sekulariasi dan desakralisme. Sekularisasi adalah usaha untuk menduniawikan nilal-nilal yang sudah duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.[6]
Keempat, neomodernisme menghadirkan sebuah kererbukaan, inklusivitas, dan pemahaman liberal Islam yang dapat direrima oleh segala kalangan, pengakuan pluralisme sosial, penekanan perlunya toleransi, dan hubungan harmonis di kalangan masyarakar.
Kelima, neomodernisme dimulai dengan semangat kembali pada abad modernisme (Muhammad Abduh) dengan memerhatikan rasionalitas dalam kegiatan ijtihad ataupun upaya individual dalam interpretasi nash. Kalangan neomodernisme mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual, memerhatikan kekhususan masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan interprerasi baru untuk merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan budaya masyarakat akhir abad ke-20. Bisa dikatakan, neomodernisme menyintesiskan tradisi keilmuan Islam, tuntutan modernis tentang ijtihad, tuntutan ilmu sosial Barat, dan kemanusiaan. Mereka bisa melakukan upaya ini karena mereka berlatar belakang tradisionalis (pesantren atau madrasah) yang dibekali dengan penguasaan Bahasa Arab dan akrab dengan warisan keilmuan Islam klasik. Dengan demikian, secara simultan neomodernisme adalah gerakan kembali pada dasar-dasar modernisme dan menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis, dan tuntutan Barat.[7]

KESIMPULAN DAN PENUTUP
Perkembangan dalam bidang intelektualisme dan pemikiran Islam tampaknya akan terus bergulir dalam dinamika yang bahkan lebih cepat lagi. Ini semakin jelas antara lain dengan bertambah tersedianya sumber daya manusia dan semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pengembangan bidang ini di kalangan kaum muda muslim Indonesia. Melihat perkembangan ini, tidaklah keliru jika Nasir Tamara, misalnya, bahkan secara terang-terangan mengatakan telah terjadinya apa yang disebutnya dengan “renaissance dalam pemikiran Islam” di Indonesia.[8]
Gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia merupakan jawaban atas tuntutan modernitas, yang secara umum ditandai dengan pemikiran-pemikiran kritis terhadap modernisasi (Barat), dan menghasilkan tawaran alternatif-alternatif non-Barat dalam membangun dan rnembangkitkan umat Islam dari ketertinggalan. di dalamnya mencakup gerakan-gerakan intelektual dan sosial-politik cukup beragam, yang meliputi: neo-tradisionalisme dengan kecenderungan bersikap reserve terhadap modernism, neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme Islam dengan kecenderungan lebih bersikap reaktif dan anti-Barat serta neomodernisme yang menampilkan citra revisionistik terhadap reformisme modernis. Gerakan ini banyak diilhami oleh pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman, Sayyed Hossein Nashr, Abul Ala Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Gerakan Ikhwanul Mukminin Hassan al-Banna.
Oleh karena gerakan ini mengidealkan keterlibatan Islam dalam segala sendi kehidupan, dalam berbangsa dan bernegara, maka neomodernisme Islam meniscayakan terbentuknya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipenuhi dengan pemerataan kesejahteraan, jaminan keadilan bagi semua, serta terciptanya peri kehidupan berbangsa yang demokratis, dengan menjadikan pesan isi ajaran Islam sebagai pedoman, bukan pada pesan teks, serta simbolisme dan formalism keagamaan. Gerakan ini menjadi kanal bagi tumbuh dan berkembangnyanya formalism keagamaan dalam sendi-sendi politik kenegaraan.
Bahwa gerakan neomodernisme di Indonesia, banyak dikembangkan oleh generasi pemikir yang berlatar belakang tradisionalis (alumni pesantren dan madrasah), yang dibekali dengan penguasaan Bahasa Arab dan akrab dengan warisan keilmuan Islam klasik, sehingga gerakan ini memiliki misi untuk memadukan tradisionalisme Islam, modernisme dan pendidikan Barat. Gerakan pemikiran ini juga mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual, memerhatikan kekhususan masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan interprerasi baru untuk merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan budaya masyarakat akhir abad ke-20, dan secara simultan menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis, dan tuntutan Barat, sehingga jauh dari kemungkinan melakukan upaya penyingkiran, apalagi permusuhan dengan kalangan tradisionalis, sebagaimana pengalaman sebelumnya yang terjadi antara kalangan tradisionalis dan modern.
Demikian sekilas catatan mengenai Gerakan neo modernism Islam di Indonesia kami buat, sebagai bahan diskusi untuk memperkaya khazanah pemikiran kita tentang kajian-kajian keislaman, semoga menambah pencerahan dalam pemikiran kita. Semoga.. Amin.

Cilacap, Oktober 2011


MOH. TAUFICK HIDAYATTULLOH

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”, dalam M. Dawam Rahardjo, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Azyumardi azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung, Mizan, 1994.
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
---------, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Fachry Ali & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986.
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, diterjemahkan oleh Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikara dan Ford Foundation, 1999.
Greg Barton, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999.
Hiroko Horikoshi , Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Imran Hamzah, dan Chairul Anam, (ed), Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai. Surabaya: PT Jawa Pos, 1989.
Jalaluddin Rakmat. Pluralisme Agama: Akhlaq Al-Qur’an Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006..
J. Dwi Narwoko,– Suyanto, Bagong (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Mochammad Sodik, Gejolak Santri Kota Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
M. Deden Ridwan. Gagasan Nurcholish Madjid: Neo Modernisme Islam Dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan, Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002.
Nurcholish Madjid. Dialog Agama-Agama Dalam Perspektif Universalisme Al-Islam dalam Passing Over: Melinatasi Batas Agama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998.
------------, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1991.
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.




[1] Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Cilacap, Mahasiswa Program Paska Sarjana Magister Pendidikan Islam Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta.
[2] Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999, 334-342. 
[3]  Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), 242. 
[4] Barton, Greg, Indonesia, 172.
[5] Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 171-172
[6] Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), 207.
[7]  Barton, Greg, Indonesia, 345.
[8] Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru,” dalam Majalah Prisma, No. 5., tahun XVII, 1988, hlm. 56.

Minggu, 16 Oktober 2011

Islam dan Demokrasi


ISLAM DAN DEMOKRASI[1]
Oleh : Moh. Taufick Hidayattulloh, S.Ag.[2]

PENDAHULUAN
Islam dan demokrasi, dua buah konsep yang menjadi polemik lama dalam sejarah pemikiran Islam yang hingga sekarang belum tuntas diperdebatkan. Membongkar wacana demokrasi dan Islam tidak akan pernah lepas dari banyak hal seperti panggung pergulatan politik, Negara, kekuasaan, pemerintahan dan entitas lain di luar Islam.
Demokrasi dianggap menjadi sebuah pilihan terbaik dari berbagai pilihan system yang ada dalam wacana nation state karena dipandang sebagai substansi dan norma secara umum dimana demokrasi berangkat dari nilai-nilai pluralisme, sekulerisme, kebebasan, kesetaraan, toleransi, dan juga liberalisme. Pemikir-pemikir Islam, cendekiawan-cendekiawan muslim, dan aktivis-aktivis islam berbeda sikap dan pendapat dalam mengapresiasi dan mengkritisi konsep demokrasi. Ada yang mengingkari demokrasi dengan keyakinan antara islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan . Ada pula yang menerima demokrasi karena menganggap nilai-nilai demokrasi yang universal tersebut mengacu kepada nilai-nilai islam. Diskursus diantara dua konsep inilah yang akan coba dibahas dalam paper ini dimana saya akan coba menyajikan bentuk pertentangan yang ada dalam dunia islam sebagai bagian penyikapan dunia Islam terhadap demokrasi.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya.
Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah.
Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.
PERMASALAHAN
Berangkat dari paparan di atas, ada empat hal yang menjadi permasalah pokok kajian ini, berawal dari peryantaan menggelitik:
1.      Apakah ada pertentangan yang prinsipil antara Demokrasi dan Islam sehingga Samuel Huntington dan F. Fukuyama memprediksi bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi, sehingga keduanya tidak dapat dipertemukan.
2.      Apakah antara Islam dan demokrasi merupakan dua nilai yang saling menguatkan, atau satu dengan lainya saling melemahkan,
3.      Apakah dalam ajaran Islam ada nilai-nilai yang merepresentasikan demokrasi
4.      Apakah ada praktik kenegaraan yang berdasarkan Islam yang merepresentasikan pemerintahan demokratis..?
Keempat pertanyaan kritis tersebut akan menjadi penuntun (guidance) atas tulisan ini, untuk mencari titik temu (konklusi) atas perdebatan akademik mengenai Islam dan demokrasi yang tak kunjung usai.

PEMBAHASAN
a.      Tentang Demokrasi dan Islam
Demokrasi secara etimologis berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat dan “creatain” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Dengan bahasa lain demokrasi adalah pemerintahan rakyat; pemerintahan yang diikuti oleh rakyat secara suka rela dan bukan karena takut atau paksa. Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan. Paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan menjadi bagian dari konsep demokrasi.
Demokrasi memberikan kepada manusia dua hal : pertama, hak membuat hukum (legislasi). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan; kedua, hak memilih penguasa. Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut.
Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority). Dalam demokrasi kebebasan harus diwujudkan bagi setiap individu rakyat. Ada empat jenis kebebasan yang dianut:
(1) kebebasan beragama (freedom of religion),
(2) kebebasan berpendapat (freedom of speech),
(3) kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan
(4) kebebasan berperilaku (personal freedom).
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia),  dst.[3]
b.      Antara Syura dan Demokrasi
Sebagian ulama menyatakan bahwa kita tidak memerlukan sistem demokrasi karena Islam sudah memiliki sistem syura yang lebih baik dan lebih syar’i. Menurut hemat penulis, sebenarnya banyak yang bisa didiskusikan tentang hal ini; karena sistem syura sendiri belum cukup memadai untuk diterapkan dalam konteks kenegaraan yang memiliki scope sangat luas dan kompleks. Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya:
Pertama, sebagian fuqaha menganggap syura bukan sesuatu yang wajib, tetapi termasuk kategori yang sunnah. Syura hanya diposisikan sebagai sebuah ketentuan yang ‘sebaiknya’ diterapkan dan diterapkan hanya sebagai ‘penyempurna’ bukan sebagai dasar atau fondasi. Walaupun ada pula pendapat yang berlawanan dari Ibnu Athiyah, yang juga diperkuat oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Ia mengatakan, “Syura adalah salah satu kaidah syari’at dan bagian dari fondasi hukum Islam. Seorang pemimpin yang tidak mengajak musyawarah ulama dan ilmuwan/ Pakar, maka ia wajib dimakzulkan. Ini adalah ketentuan yang telah disepakati bersama dan tidak ada ada yang berbeda pendapat dalam masalah ini.”[4]
Kedua, Ada juga sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa syura hanya sebagai ‘teknis’ atau ‘metode’, bukan tuntutan. Walau sebagian fuqaha lainnya berpandangan bahwa syura itu tuntutan agama yang hukumnya wajib, namun ternyata mereka tetap berkesimpulan bahwa yang wajib dilakukan oleh penguasa atau pemimpin adalah bermusyawarah dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang luas.
Setelah mereka mengemukakan pendapat dan pandangannya, penguasa boleh tetap menggunakan pendapatnya sendiri, dengan syarat ia bertanggung jawab sendiri secara pribadi. Penguasa tidak diharuskan mengikuti pendapat dan pandangan para ulama dan ilmuwan tadi, karena kewajibannya hanya bermusyawarah saja; sebagaimana dipahami dalam firman Allah swt:
“Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam satu urusan, apabila kamu telah ber’azam, maka bertawakkallah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tawakkal.”[5]
Penulis memang kurang sependapat dengan kedua pandangan yang ‘minor’ tentang syura tersebut, mengingat dalil-dalil tentang ‘mengikatnya’ syura serta hasilnya bagi penguasa atau pemimpin dalam mengambil keputusan lebih kuat dan logis. Seperti perkataan Al-Qurthuby dalam tafsirnya, “Umar bin Khathab menjadikan syura sebagai institusi tertinggi dalam lembaga kekhilafahan.”
Al-Bukhary juga menyatakan, “Para pemimpin setelah Nabi saw biasa bermusyawarah dengan ulama-ulama terpercaya dalam berbagai masalah untuk mengambil keputusan yang tepat.”
Jika sudah ada kejelasan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka tidak akan beralih ke rujukan lain. Orang-orang yang mendalami Al-Qur’an adalah mereka yang paling sering dimintai pendapat oleh Umar, baik tua maupun muda, dan dia selalu berpegang teguh pada Kitabulah.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Al-Fath, dalam Al-Adabul Mufrad, riwayat Al-Bukhary, dalam sebuah hadits panjang berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw bersabda, “Berikan aku masukan dalam menghadapi orang-orang itu.” Kemudian Abu Bakar dan Umar memberi masukan, lalu beliau melaksanakan apa yang disampaikan Abu Bakar dan Umar.
Bahkan menurut Ibnu Hajar, Rasulullah pun mengajak Shahabatnya dalam menetapkan hukum. Rasulullah saw meminta pendapat Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (untuk fakir miskin) sebelum pembicaraan itu.”[6] Lalu Ali memberi masukan tentang keringanan dalam mengeluarkan sedekah. Kemudian turun ayat selanjutnya yang membenarkan dan menguatkan pendapat Ali tersebut.
Namun harus diakui, bahwa sistem syura itu sendiri masih bersifat normatif, global dan sederhana, mengingat problematika sosial, politik dan ekonomi masyarakat di masa sistem syura itu dimunculkan pertama kali belum sekomplek dan serumit masa sekarang.
Ketika bangsa-bangsa di seluruh dunia semakin berkembang dengan segala kompleksitas permasalahannya, maka diperlukan ijtihad yang lebih dalam untuk merinci sistem syura tersebut sehingga mampu menjawab tuntutan zaman.[7]
Dalam konteks inilah kita menemukan jawaban atas tuntutan zaman itu dalam sistem demokrasi, yang notabene merupakan hasil uji coba bangsa-bangsa di seluruh dunia setelah mengalami berbagai problematika dalam perjalanan panjang selama ratusan tahun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan bersesuaian. Yang membedakan adalah ‘ruh’ atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sistem syura berspiritkan ”rabbaniyyah”, sedang sistem demokrasi berspiritkan “insaniyyah”. Sistem syura bernilai “religiuitas”, sedang sistem demokrasi “bebas nilai”.
Namun, bagaimanapun juga sistem demokrasi lebih detail, rinci dan aplikatif. Dalam sistem demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah (lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan mekanisme check and balances, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kelebihan sistem demokrasi adalah dapat meminimalisir potensi diktatorisme politik, ekonomi dan sosial. Disinilah sebenarnya peluang kita untuk mengisi nilai-nilai religiusitas dalam sistem demokrasi, sehingga demokrasi itu menjadi “islami”.
c.       Silang Pendapat Mengenai Islam dan Demokrasi
Ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan Demokrasi dengan Islam.
1.  Kelompok yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.
Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan:
a.       Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah.
b.      Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah.
c.       Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak merupakan kebenaran.
d.      Demokrasi adalah hal baru yang termasuk dalam kategori bid’ah dalam agama; generasi Islam sebelumnya tidak mengenal adanya sistem demokrasi. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menciptakan hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam agama kita, maka hal tersebut ditolak.” (HR. Muslim, Ahmad). Juga hadits Nabi lainnya, “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dalam agama kami, ia akan ditolak.” (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i).
Demikian pula ada hadits yang menyatakan, “Perkataan yang paling benar adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, seburuk-buruk hal adalah sesuatu yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat, dan kesesatan itu akan mengantarkan ke neraka.” (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i)[8]
e.       Demokrasi merupakan produk Barat yang notabene sekuler dan kafir. Bagaimana kita akan mengikuti ajaran orang-orang yang ingkar pada Allah dan Rasul-Nya?
Karena alasan-alasan tersebut mereka dengan tegas menolak demokrasi. Mereka juga mengecam orang-orang Islam yang menerima dan menerapkan demokrasi. Bahkan mereka tidak segan-segan menuduhnya musuh Islam. Ada juga diantara mereka yang menganggap demokrasi itu syirik dan sebagai bentuk kekufuran.
2.  Yang menerima demokrasi secara total tanpa reserve.
Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi Barat adalah satu-satunya solusi yang tepat untuk mengatasi problematika negara, pemerintahan, rakyat dan tanah air. Mereka menerima demokrasi Barat bulat-bulat, termasuk sistem ekonomi liberalnya dan sistem sosial kemasyarakatannya yang bebas tanpa batas.
Mereka meng-copy paste demokrasi Barat tanpa edit, dan ingin menerapkannya persis sama dengan praktek demokrasi di negara-negara Barat. Demokrasi yang tidak berdasarkan akidah, tidak mengenal akhlak, mengabaikan ibadah dan menyepelekan syari’ah. Bukan hanya itu, demokrasi Barat memisahkan secara diametral urusan agama dengan urusan negara.
Mereka ini korban dari ghazwul-fikri, perang budaya, yang berujung pada kekalahan dan melahirkan mentalitas ‘kaum terjajah’ yang bangga apabila dapat meniru sikap dan perilaku penguasa penjajahnya.
3. Kelompok yang menerima demokrasi secara moderat.
Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa pemimpinnya. Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.
Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam pemerintahan yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi terhadap jalannya pemerintahan.
Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada mereka; juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya; bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai.
Kelompok ini juga berpandangan, apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah (eksekutif) dengan parlemen (legislatif), atau dengan tokoh-tokoh masyarakat, dalam masalah yang berkaitan dengan syari’ah; maka perbedaan tersebut dibawa, untuk ditengahi, kepada Majelis Ulama atau bahkan Mahkamah Konstitusi yang mengundang ulama-ulama yang berkompeten di bidangnya, agar ditetapkan keputusannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian. Apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.”[9]
Sementara jika terjadi perselisihan pendapat dalam masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakatan yang masuk dalam kategori mubah, maka yang pengambilan keputusannya diupayakan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
Apabila tidak tercapai mufakat, maka bisa melalui pengambilan pendapat melalui suara terbanyak (voting); karena pendapat dua orang atau lebih dekat kepada kebenaran daripada pendapat satu orang. Hal ini sesuai dengan logika syari’at Islam, disamping logika politik yang memang “harus ada yang diunggulkan”. Yang diunggulkan ketika terjadi perselisihan pendapat adalah jumlah yang terbanyak.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang dan dia menjauh dari orang berdua.” (HR. At-Tirmidzy dan Al-Hakim).[10]
Nabi saw juga pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, “Seandainya kalian berdua menyepakati suatu pendapat, tentu aku tidak akan menyalahi kalian berdua.” (HR. Ahmad).[11]
Dengan kata lain, pendapat yang didukung dua orang lebih diunggulkan daripada pendapat seorang, sekalipun itu pendapat Rasulullah saw, selagi dalam masalah-masalah di luar lingkup syari’at dan apa yang telah ditetapkan Allah.
Bahkan dalam kasus Uhud, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi harus mengikuti pendapat mayoritas karena sebagian besar Sahabat memilih untuk menghadapi orang-orang musyrik di luar Madinah, walau beliau sendiri bersama beberapa Sahabat terkemuka berpendapat untuk bertahan saja di dalam kota Madinah sembari berperang gerilya di jalan-jalan Madinah yang seluk-beluknya sudah mereka hapal.
Yang paling nyata mengenai pendapat mayoritas ini adalah sikap Umar bin Khathab tentang enam orang anggota Majelis Syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai Tim Formatur sekaligus diberi amanah untuk memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah berdasar suara terbanyak.
Sedang yang tidak terpilih dari tim tersebut harus patuh dan tunduk kepada kandidat terpilih. Jika dalam voting tersebut suara yang diperoleh tiga lawan tiga, mereka harus mengambil suara dari luar tim formatur, yakni Abdullah bin Umar.
Dalam beberapa hadits juga dinyatakan pujian terhadap “golongan terbesar” dan perintah untuk mengikutinya. “Golongan terbesar” ini maksudnya adalah golongan mayoritas diantara umat manusia.
Menurut beberapa ulama, hadits ini berkaitan dengan pelibatan seluruh rakyat dalam penentuan Khalifah atau masalah-masalah kenegaraan yang harus diputuskan dan membutuhkan pendapat mayoritas.
“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tujuh puluh dua golongan; dan sesungguhnya umat ini (Islam) lebih banyak satu golongan dibanding mereka. Semuanya masuk neraka kecuali golongan terbesar.” (HR. Ath-Thabrany dan Ahmad)[12]
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly berpendapat dalam beberapa tulisannya, bahwa pendapat mayoritas lebih diunggulkan jika ada dua sisi pandang yang serupa.
Pendapat yang menyatakan pengunggulan hanya berlaku untuk pendapat yang benar walau hanya didukung satu suara dan menolak pendapat yang keliru walau didukung mayoritas suara, adalah untuk hal-hal yang dikuatkan nash syari’at dengan dalil dan hujjah yang kuat, jelas dan tidak mengandung perbedaan pendapat di kalangan ulama. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan: “Yang disebut jama’ah adalah yang sejalan dengan kebenaran, sekalipun engkau hanya sendirian.”
Sedangkan untuk hal-hal ijtihadiyah yang tidak ada dasar nash-nya, atau ada nash-nya namun mengandung lebih dari satu penafsiran, atau ada nash lain yang bertentangan dengannya atau lebih kuat darinya; maka diperbolehkan untuk memilih salah satu yang diunggulkan agar bisa menuntaskan silang pendapat.
Dan voting, pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak merupakan cara yang tepat untuk itu. Tidak ada satupun dalil dalam syari’at yang melarang proses pengambilan keputusan dengan cara seperti ini.
Walau sistem demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia, bukan berarti sistem ini tercela dan harus ditolak. Bukankah Allah telah memerintahkan manusia untuk mengoptimalkan penggunaan akal fikiran?
Kita diperintahkan untuk berfikir, membaca, mengkaji, merenung, mengambil pelajaran dan hikmah, serta berijtihad? Tentu hasil ijtihad itu perlu ditimbang lebih dahulu, apakah bertentangan atau bersesuaian dengan ajaran Allah.
d.      Piagam Madinah, Praktek Pemerintahan Demokratis Warisan Nabi SAW.
Berbicara tentang demokrasi, ingatan kita diajak untuk menerawang jauh kebelakang, yaitu pada tahun 622 M. Piagam Madinah atau ‘Mitsaqal Madinah’ yang lembaran tertulisnya ( shahifat ) berfungsi sebagai dasar hukum dan konstitusi dalam mempersatukan penduduk Madinah dari semua golongan (suku, agama, dan ras). Inilah sebuah piagam yang merupakan cikal bakal sebuah negara demokrasi moderen. Mitsaqal Madinah yang lembarannya terinspirasi dari wahyu ilahi dan berisikan empat belas prinsip yang mengatur jalannya roda kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Walaupun pada saat itu belum ada sebutan negara kepada Islam yang berada di kota Madinah secara dejure, namun secara defacto, kaum muslimin dibawah komando Nabi Muhammad SAW telah mempraktekan kehidupannya sebagai sebuah negara yang demokratis.[13]
Dari ke empat belas prinsip itu, prinsip pertama adalah ‘prinsip keumatan’, dimana dalam lembaran itu ditegaskan bahwa pada kenyataannya karakter manusia sebagai makhluk sosial , membutuhkan kerja sama antara satu dengan yang lainnya, dan hidup berkelompok. Setiap kelompok dapat dibedakan dari segi keyakinan dan agama yang mereka anut, dari segi etnis-budaya, prinsip politik, kepentingan ekonomi, pola pikir dan pandangan hidup. Hal-hal diatas sesuai dengan tekstual al Qur’an yang menyatakan memang manusia hidup berkelompok agar mereka saling kenal mengenali, (‘waja’alnakum syu’uban waqabaila lita’arafu’)[14]. Dan al Qur’an juga menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia itu lemah, ‘ wakhuliqal insanu dha’ifa’ . Karena itu mereka harus membentuk kerja sama dalam kebaikan dan taqwa (wata’a wanu alal birri wattaqwa’), sebagai wujud menjaga kelestarian hubungan antar manusia (hablum minannas).
Prinsip kedua dalam piagam itu adalah ‘Persatuan dan Persaudaraan’. Pembentukan umat bagi kaum muslimin disatu pihak dan bagi orang-orang muslim bersama kaum Yahudi, Nashrani di pihak lain menunjukkan betapa pentingnya prinsip tersebut. Artinya, di dalam oraganisasi umat terkandung makna persatuan persaudaraan, baik persatuan dan persaudaraan seagama, maupun persatuan dan persaudaraan kemanusiaan antar pemeluk agama.
Karena suatu umat, atau bangsa dan negara tidak akan pernah berdiri tegak bila di dalamnya tidak terdapat persatuan dan persaudaraan masyarakatnya. Persatuan dan persaudaraan tidak akan terwujud tanpa adanya saling bekerja sama dan kasih sayang dan untuk kebaikan. Hal itu ditegaskan nabi dalah shahifatnya pada pada ‘wa annal yahuda yunfiquna ma’al mukminana ma damu.” Dan “wa anna bainahumun nashra ‘ala man haraba ahla hadzihish shahifati wa anna bainahumun nashha wannashihata wal birradunal itsmi…’[15] orang-orang Yahudi bersama-sama dengan orang-orang mukmin saling membantu dalam menghadapi orang yang menyerang terhadap pemilik Piagam, saling menasehati dan memberi saran, dan berbuat baik, bukan berbuat dosa.
Lebih jauh dapat dijelaskan, bahwa di dalam ketetapan yang menghendaki terwujudnya persatuan dan persaudaraan di kalangan penduduk Madinah, juga menggambarkan bentuk hubungan antara golongan Islam dan Non Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW tidak membentuk persatuan dan persaudaraan yang eksklusif bagi umat Islam saja.[16]
Oleh karena itu, prinsip persatuan dan persaudaraan yang diletakkan Nabi SAW dapat dikatakan pertama dalam sejarah kemanusian. Bahkan menurut Robert N Bellah, seorang pakar sosiologi agama-agama, prinsip-prinsip yang diletakkan Nabi SAW sangat moderen pada zamannya. Di era moderen ini, setiap pemerintahan suatu negara memandang prinsip persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang harus dibina dan ditegakkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan pembangunan di segala bidang.[17]
Prinsip ketiga dalam Piagam Madinah adalah ‘Prinsip Persamaan’. Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat yang cenderung kepada kefanatikan terhadap suku, dan darah turunan (nasab), sehingga mereka terjerumus ke dalam pertentangan, kekacauan yang merusak tatanan sosial, politik dan ekonomi. Mereka tidak mengenal adanya prinsip persamaan antara sesama manusia.
Satu kabilah dengan kabilah lainnya tidak saling mendukung dan melindungi. Bahkan satu kabilah adalah musuh bagi kabilah lainnya yang harus dilenyapkan. Karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari kabilah lainnya, sehingga mereka sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada rasa kepedulian sosial terhadap kabilah yang lain. Itulah yang disadari oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga dalam piagamnya menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial. Ketetapan ini berkaitan dengan kemashlahatan umum yang menjamin hak-hak istimewa mereka sebagaimana hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kaum muslimin. Sebab prinsip persamaan dalam Islam adalah pengakuan hak-hak yang sama antara kaum muslimin dan bukan muslimin.
Persamaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan dapat dirujuk dalam jiwa pada shahifat tersebut yang menyatakan, bahwa penduduk Madinah adalah umat yang satu, yaitu umat yang memiliki status yang sama dalam kehidupan sosial, hak membela diri, persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota Madinah, persamaan kewajiban dalam memikul belanja perang bila diperlukan, persamaan hak dalam memberikan saran dan nasehat untuk kebaikan, dan persamaan hak kebebasan dalam memilih agama dan keyakinan, serta hak mengatur kehidupan ekonomi masing-masing juga sama, ‘waannal yahudi nafaqatahum wa ‘alal muslimina nafaqahum’.
Prinsip di atas sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad, ‘Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu (Allah SWT), dan bapak kamu satu (semua berasal dari nabi Adam as). Ingatlah, tidak ada keutamaan orang Arab dengan orang yang bukan Arab (a’jami), dan tidak pula sebaliknya, tidak ada keistimewaan orang kulit berwarna (ahmar) dengan orang kulit hitam dan sebaliknya, kecuali karena ketaqwaannya”.[18]
Demikian juga al Qur’an menegaskan tentang prinsip-prinsip persamaan yang menerangkan asal usul kejadian manusia, yaitu dari setetes air mani, dan setelah itu menjadi segumpal darah dan membentuk segumpal daging dan seterusnya.[19]
Walaupun disadari, bahwa antara manusia terdapat perbedaan dari segi jenis kelamin, warna kulit (ras), sifat pembawaan, bakat, kekuatan fisik, ketrampilan, kemampuan intelektual dan pendidikan, kedudukan sosial-ekonomi, dan sebagainya, namun sebagai manusia, mereka adalah sama dan tetap sama.
Perbedaan perbedaan yang nyata ini bukan alasan untuk saling membedakan satu sama lain, sebaliknya dengan adanya perbedaan itulah umat manusia untuk saling mengenali dan membantu sesama mereka. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim, Ibn Majah. Ahmad dari Abu Hurairah, ‘Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk dan rupa kamu, dan harta kamu, akan tetapi Allah hanya memandang kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu.”
Dalam prinsip persamaan ini, Nabi SAW menetapkan agar akar-akar fanitisme jahiliyah yang berbangga diri dengan keturunan dan ras nya atau kekayaannnya dapat dihilangkan dan memunculkan rasa kebersamaan yang melahirkan persatuan dan persaudaraan sejati, sehingga harkat dan martabat kemanusiaannya dapat terangkat dan juga dapat mengembangkan potensi setiap diri secara wajar dan layak .
Demikian juga sepirit Al-Qur’an yang menjelaskan adanya perbedaan warna kulit dan lainnya, bukan untuk menunjukkan superioritas mereka, tetapi lebih dari itu agar satu warna dengan warna lainnya dapat mengenali karakter sehingga dapat dijalinnya suatu kerja sama.

KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat kiranya diambil kesimpulan bahwa; pertama, dalil yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi, sehingga keduanya tidak dapat dipertemukan juga tidaklah tepat, karena pada dataran empirik, kalau Negara Indonesia dijadikan sebagai studi kasus, harus diakui bahwa Indonesia, yang merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, ketika demokrasi diterapkan, hampir tidak ada penolakan yang berarti, dan tuntutan demokratisasi justru mengalir deras dari kalangan aktifis dan cendekiawan muslim, dan dipelopori oleh organisasi massa Islam terbesar di Insonesia, bahkan mungkin di dunia, yaknu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Demokrasi, justru menjadi kebutuhan atas terujudnya tatanan Negara yang diidamkan.
Kedua, Bahwa tidak ditemukan adanya pertentangan yang mendasar antara ajaran Islam dengan Demokrasi, bahkan, spirit demokrasi, secara keseluruhan tidaklah bertentangan dengan prinsi-prinsip ajaran agama Islam, antara lain : musyawarah, amar ma’ruf nahi munkar yang diterjemahkan dalam mekanisme check and balance, pengawasan (mutaba’ah), kontrol (muraqabah) dan evaluasi, saling menasehati (taushiyah), mencari mashlahat dan menghindari madharat, menegakkan keadilan dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.
Ketiga, sebagai contoh, Kalau dalam demokrasi kebebasan harus diwujudkan bagi setiap individu rakyat, disimpulkan dalam empat kebebasan pokok, yakni : (1) kebebasan beragama (freedom of religion), (2) kebebasan berpendapat (freedom of speech), (3) kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan (4) kebebasan berperilaku (personal freedom). Maka dalam ajaran Islam, dikenal perlindungan terhadap lima macam hak politik warga Negara, yang dikenal dengan istilah adloruriyatul khoms, yakni : Kebebasan Beragama (al khifdu al dien), Kebebasan berfikir (al khifdlu al aql), kebebasan property/ekonomi (al khifdlu al maal), kemerdekaan mempertahankan kehormatan/harga diri (al khifdlu al irdl), dan kemerdekaan repoduksi (al-hifdlu al nashl).
Ini bukti bahwa kalau ada yang kurang dalam konsep demokrasi, konsep kepemerintahan Islam justru melengkapinya, sehingga tujuan utama pemerintahan, yakni untuk menciptakan kemaslahatan umat, sesuai kaidah fiqhiyyah : “tashorruful imam ‘ala roiyah, manuuthun bil maslahah”, kebijakan pemerintah atas rakyatnya, harus selalu mengacu pada kemaslahatan, akan terujud.
Keempat, bahwa sejarah perkembangan Islam justru membuktikan, bahwa pemerintahan Islam yang bersendikan nilai-nilai demokrasi, justru tumbuh subur pada masa awal peletakan dasar ke-Islaman, yakni pada masa awal hijriyah, ketika Rosululloh SAW mengupulkan suku-suku yang ada di Yastrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah, untuk menyepakati perjanjian yang mengikat masng-masing hak dan kewajiban selaku warga Negara, dalam ikatan Piagam Madinah (Al-Mitsaq Al madinah). Keseluruhan konsep dasar dalam Piagam Madinah, adalah representasi sistim demokrasi yang kita kenal saat ini.
Masa awal Islam di Madinah, adalah bukti nyata bahwa jauh sebelum konsep demokrasi diperkenalkan ke dunia Islam, telah ada praktik kenegaraan yang sangat sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, yakni pemerintahan Islam di Madinatul Munawwarah, yang diikat dengan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Piagam Madinah.

Cilacap, 11 Maret 2011
Penulis

MOH. TAUFICK HIDAYATTULLOH

DAFTAR PUSTAKA


A. Ubaeillah dan Abdurrozaq, dkk. (Peny.) Demokrasi, hak Asasi manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatulloh, Jakarta, Edisi Revisi II, 2006
Abu Abdillah Al Anshari Al Qurtubi, Al Jami’ Lil Akhkaamil Qur’an, Darul Kutub Al Arabi, Kairo, 1387 H / 1967 M.
Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran Civil Society Dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, bandung, Cetakan Pertama, Oktober 1999
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Toha Putra Semarang, 1989.
Nurcholis Majid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1995
Robert N Bellah, Beyond Belief, Herper and Row, New York, 1976.
http : //ekomarhendi.wordpress.com



[1] Makalah, disusun sebagai Tugas Mata Kuliyah : Pendekatan Dalam Pengkajian Islam, Pada Program Paska Sarjana Magister Pendidikan Islam Universitas NU Surakarta, dengan Dosen Pengampu : Prof. DR. H. Abdullah Hadzik, MA.
[2]  Mahasiswa Paska Sarjana Magister Pendidikan Islam Universitas NU Surakarta.
[3] A. Ubaeillah dan Abdurrozaq (Peny.) Demokrasi, hak Asasi manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatulloh, Jakarta, Edisi Revisi II, 2006, Halaman 132-124
[4] Tafsir Al-Qurthubi, Darul Kutub Al-Mishriyah, jld. 4, hlm.249. Lihat juga Al-Muharrar Al-Wajiz, Ibnu Athiyah Al-Andalusi, jld.1, hlm.534.
[5] QS. Ali Imran, 3:159.
[6]  QS. Al-Mujaadalah, 58:12
[7] Hadits ini hasan menurut At-Tirmidzy dan shahih menurut Ibnu Hibban. Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terkandung musyawarah yang berkaitan dengan penetapan hukum.”

[8] HR. Muslim dalam Bab Al-Jum’ah, no.867; Ahmad dalam Al-Musnad, no.14334; An-Nasa’i dalam Bab Shalat Al-Idain, no.1578; Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah, no.45.

[9]  QS. An-Nisaa’, :59
[10] Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits hasan shahih gharib yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab. Adz-Dzahaby menshahihkannya menurut syarat Asy-Syaikhani (Bukhari –Muslim).
[11] Hadits ini diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ari. Di dalam sanadnya ada Syahr bin Hausyab. Menurut Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, dia dapat dipercaya (tsiqah) namun banyak hal yang meragukan. Ahmad Syakir min-tsiqah-kannya dalan Takhrijul-Musnad.
[12] Lihat Al-Mu’jamul Kabir, 8/8035, dan disebutkan pula oleh Al-Haitsamy di dalam Majma’uz-Zawa’id. Ath-Thabrany juga meriwayatkan dalam Al-Ausath wal Kabir, serupa dengan hadits di atas.
Ath-Thabrany dan Ahmad meriwayatkan di dalam Al-Musnad secara mauquf pada Ibnu Abi Aufa, dia berkata, “Wahai Ibnu Jahman, hendaklah kamu bersama mayoritas umat, jika kamu mendengar aspirasi umat kepada penguasa. Datangilah penguasa tersebut, sampaikan aspirasi umat, mudah-mudahan dia menerimanya. Jika tidak, tinggalkan dia, karena kamu bukan orang yang lebih tahu dari dia.” (HR. Ahmad, dalam Al-Musnad, no.1941)
Ibnu Ashim meriwayatkan di dalam Al-Sunnah dari Ibnu Umar,”Tidak mungkin bagi Allah untuk menghimpun umat ini dalam kesesatan selamanya, dan tangan Allah di atas jama’ah. Maka hendaklah kalian mengikuti golongan terbesar. Sesungguhnya siapa yang menyimpang, maka ia akan menimpang ke neraka.” Menurut Al-Albany, isnadnya dha’if. Al-Hakim meriwayatkan hadits yang serupa ini dari beberapa jalan.
[13] Ahmad baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran Civil Society Dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, bandung, Cetakan Pertama, Oktober 1999 Halaman 221 - 222
`[14] QS. Al-hujarat : 13
[15] Pasal 24 dan 38 Piagam Madinah
[16] Nurcholis Majid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1995, Halaman 187.
[17] Robert N Bellah, Beyond Belief, Herper and Row, New York, 1976, Halaman 150-151
[18] Juga ditegaskan di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Hujarat : 13 : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
[19] QS. An-Nisa : 1, QS. Al-A’raf : 189, QS. Azzumar : 6, QS. Fathir : 11 QS. Al-Muukmin : 67