Minggu, 16 Oktober 2011

Islam dan Demokrasi


ISLAM DAN DEMOKRASI[1]
Oleh : Moh. Taufick Hidayattulloh, S.Ag.[2]

PENDAHULUAN
Islam dan demokrasi, dua buah konsep yang menjadi polemik lama dalam sejarah pemikiran Islam yang hingga sekarang belum tuntas diperdebatkan. Membongkar wacana demokrasi dan Islam tidak akan pernah lepas dari banyak hal seperti panggung pergulatan politik, Negara, kekuasaan, pemerintahan dan entitas lain di luar Islam.
Demokrasi dianggap menjadi sebuah pilihan terbaik dari berbagai pilihan system yang ada dalam wacana nation state karena dipandang sebagai substansi dan norma secara umum dimana demokrasi berangkat dari nilai-nilai pluralisme, sekulerisme, kebebasan, kesetaraan, toleransi, dan juga liberalisme. Pemikir-pemikir Islam, cendekiawan-cendekiawan muslim, dan aktivis-aktivis islam berbeda sikap dan pendapat dalam mengapresiasi dan mengkritisi konsep demokrasi. Ada yang mengingkari demokrasi dengan keyakinan antara islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan . Ada pula yang menerima demokrasi karena menganggap nilai-nilai demokrasi yang universal tersebut mengacu kepada nilai-nilai islam. Diskursus diantara dua konsep inilah yang akan coba dibahas dalam paper ini dimana saya akan coba menyajikan bentuk pertentangan yang ada dalam dunia islam sebagai bagian penyikapan dunia Islam terhadap demokrasi.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya.
Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah.
Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.
PERMASALAHAN
Berangkat dari paparan di atas, ada empat hal yang menjadi permasalah pokok kajian ini, berawal dari peryantaan menggelitik:
1.      Apakah ada pertentangan yang prinsipil antara Demokrasi dan Islam sehingga Samuel Huntington dan F. Fukuyama memprediksi bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi, sehingga keduanya tidak dapat dipertemukan.
2.      Apakah antara Islam dan demokrasi merupakan dua nilai yang saling menguatkan, atau satu dengan lainya saling melemahkan,
3.      Apakah dalam ajaran Islam ada nilai-nilai yang merepresentasikan demokrasi
4.      Apakah ada praktik kenegaraan yang berdasarkan Islam yang merepresentasikan pemerintahan demokratis..?
Keempat pertanyaan kritis tersebut akan menjadi penuntun (guidance) atas tulisan ini, untuk mencari titik temu (konklusi) atas perdebatan akademik mengenai Islam dan demokrasi yang tak kunjung usai.

PEMBAHASAN
a.      Tentang Demokrasi dan Islam
Demokrasi secara etimologis berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat dan “creatain” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Dengan bahasa lain demokrasi adalah pemerintahan rakyat; pemerintahan yang diikuti oleh rakyat secara suka rela dan bukan karena takut atau paksa. Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan. Paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan menjadi bagian dari konsep demokrasi.
Demokrasi memberikan kepada manusia dua hal : pertama, hak membuat hukum (legislasi). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan; kedua, hak memilih penguasa. Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut.
Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority). Dalam demokrasi kebebasan harus diwujudkan bagi setiap individu rakyat. Ada empat jenis kebebasan yang dianut:
(1) kebebasan beragama (freedom of religion),
(2) kebebasan berpendapat (freedom of speech),
(3) kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan
(4) kebebasan berperilaku (personal freedom).
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia),  dst.[3]
b.      Antara Syura dan Demokrasi
Sebagian ulama menyatakan bahwa kita tidak memerlukan sistem demokrasi karena Islam sudah memiliki sistem syura yang lebih baik dan lebih syar’i. Menurut hemat penulis, sebenarnya banyak yang bisa didiskusikan tentang hal ini; karena sistem syura sendiri belum cukup memadai untuk diterapkan dalam konteks kenegaraan yang memiliki scope sangat luas dan kompleks. Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya:
Pertama, sebagian fuqaha menganggap syura bukan sesuatu yang wajib, tetapi termasuk kategori yang sunnah. Syura hanya diposisikan sebagai sebuah ketentuan yang ‘sebaiknya’ diterapkan dan diterapkan hanya sebagai ‘penyempurna’ bukan sebagai dasar atau fondasi. Walaupun ada pula pendapat yang berlawanan dari Ibnu Athiyah, yang juga diperkuat oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Ia mengatakan, “Syura adalah salah satu kaidah syari’at dan bagian dari fondasi hukum Islam. Seorang pemimpin yang tidak mengajak musyawarah ulama dan ilmuwan/ Pakar, maka ia wajib dimakzulkan. Ini adalah ketentuan yang telah disepakati bersama dan tidak ada ada yang berbeda pendapat dalam masalah ini.”[4]
Kedua, Ada juga sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa syura hanya sebagai ‘teknis’ atau ‘metode’, bukan tuntutan. Walau sebagian fuqaha lainnya berpandangan bahwa syura itu tuntutan agama yang hukumnya wajib, namun ternyata mereka tetap berkesimpulan bahwa yang wajib dilakukan oleh penguasa atau pemimpin adalah bermusyawarah dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang luas.
Setelah mereka mengemukakan pendapat dan pandangannya, penguasa boleh tetap menggunakan pendapatnya sendiri, dengan syarat ia bertanggung jawab sendiri secara pribadi. Penguasa tidak diharuskan mengikuti pendapat dan pandangan para ulama dan ilmuwan tadi, karena kewajibannya hanya bermusyawarah saja; sebagaimana dipahami dalam firman Allah swt:
“Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam satu urusan, apabila kamu telah ber’azam, maka bertawakkallah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tawakkal.”[5]
Penulis memang kurang sependapat dengan kedua pandangan yang ‘minor’ tentang syura tersebut, mengingat dalil-dalil tentang ‘mengikatnya’ syura serta hasilnya bagi penguasa atau pemimpin dalam mengambil keputusan lebih kuat dan logis. Seperti perkataan Al-Qurthuby dalam tafsirnya, “Umar bin Khathab menjadikan syura sebagai institusi tertinggi dalam lembaga kekhilafahan.”
Al-Bukhary juga menyatakan, “Para pemimpin setelah Nabi saw biasa bermusyawarah dengan ulama-ulama terpercaya dalam berbagai masalah untuk mengambil keputusan yang tepat.”
Jika sudah ada kejelasan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka tidak akan beralih ke rujukan lain. Orang-orang yang mendalami Al-Qur’an adalah mereka yang paling sering dimintai pendapat oleh Umar, baik tua maupun muda, dan dia selalu berpegang teguh pada Kitabulah.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Al-Fath, dalam Al-Adabul Mufrad, riwayat Al-Bukhary, dalam sebuah hadits panjang berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw bersabda, “Berikan aku masukan dalam menghadapi orang-orang itu.” Kemudian Abu Bakar dan Umar memberi masukan, lalu beliau melaksanakan apa yang disampaikan Abu Bakar dan Umar.
Bahkan menurut Ibnu Hajar, Rasulullah pun mengajak Shahabatnya dalam menetapkan hukum. Rasulullah saw meminta pendapat Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (untuk fakir miskin) sebelum pembicaraan itu.”[6] Lalu Ali memberi masukan tentang keringanan dalam mengeluarkan sedekah. Kemudian turun ayat selanjutnya yang membenarkan dan menguatkan pendapat Ali tersebut.
Namun harus diakui, bahwa sistem syura itu sendiri masih bersifat normatif, global dan sederhana, mengingat problematika sosial, politik dan ekonomi masyarakat di masa sistem syura itu dimunculkan pertama kali belum sekomplek dan serumit masa sekarang.
Ketika bangsa-bangsa di seluruh dunia semakin berkembang dengan segala kompleksitas permasalahannya, maka diperlukan ijtihad yang lebih dalam untuk merinci sistem syura tersebut sehingga mampu menjawab tuntutan zaman.[7]
Dalam konteks inilah kita menemukan jawaban atas tuntutan zaman itu dalam sistem demokrasi, yang notabene merupakan hasil uji coba bangsa-bangsa di seluruh dunia setelah mengalami berbagai problematika dalam perjalanan panjang selama ratusan tahun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan bersesuaian. Yang membedakan adalah ‘ruh’ atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sistem syura berspiritkan ”rabbaniyyah”, sedang sistem demokrasi berspiritkan “insaniyyah”. Sistem syura bernilai “religiuitas”, sedang sistem demokrasi “bebas nilai”.
Namun, bagaimanapun juga sistem demokrasi lebih detail, rinci dan aplikatif. Dalam sistem demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah (lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan mekanisme check and balances, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kelebihan sistem demokrasi adalah dapat meminimalisir potensi diktatorisme politik, ekonomi dan sosial. Disinilah sebenarnya peluang kita untuk mengisi nilai-nilai religiusitas dalam sistem demokrasi, sehingga demokrasi itu menjadi “islami”.
c.       Silang Pendapat Mengenai Islam dan Demokrasi
Ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan Demokrasi dengan Islam.
1.  Kelompok yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.
Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan:
a.       Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah.
b.      Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah.
c.       Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak merupakan kebenaran.
d.      Demokrasi adalah hal baru yang termasuk dalam kategori bid’ah dalam agama; generasi Islam sebelumnya tidak mengenal adanya sistem demokrasi. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menciptakan hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam agama kita, maka hal tersebut ditolak.” (HR. Muslim, Ahmad). Juga hadits Nabi lainnya, “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dalam agama kami, ia akan ditolak.” (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i).
Demikian pula ada hadits yang menyatakan, “Perkataan yang paling benar adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, seburuk-buruk hal adalah sesuatu yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat, dan kesesatan itu akan mengantarkan ke neraka.” (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i)[8]
e.       Demokrasi merupakan produk Barat yang notabene sekuler dan kafir. Bagaimana kita akan mengikuti ajaran orang-orang yang ingkar pada Allah dan Rasul-Nya?
Karena alasan-alasan tersebut mereka dengan tegas menolak demokrasi. Mereka juga mengecam orang-orang Islam yang menerima dan menerapkan demokrasi. Bahkan mereka tidak segan-segan menuduhnya musuh Islam. Ada juga diantara mereka yang menganggap demokrasi itu syirik dan sebagai bentuk kekufuran.
2.  Yang menerima demokrasi secara total tanpa reserve.
Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi Barat adalah satu-satunya solusi yang tepat untuk mengatasi problematika negara, pemerintahan, rakyat dan tanah air. Mereka menerima demokrasi Barat bulat-bulat, termasuk sistem ekonomi liberalnya dan sistem sosial kemasyarakatannya yang bebas tanpa batas.
Mereka meng-copy paste demokrasi Barat tanpa edit, dan ingin menerapkannya persis sama dengan praktek demokrasi di negara-negara Barat. Demokrasi yang tidak berdasarkan akidah, tidak mengenal akhlak, mengabaikan ibadah dan menyepelekan syari’ah. Bukan hanya itu, demokrasi Barat memisahkan secara diametral urusan agama dengan urusan negara.
Mereka ini korban dari ghazwul-fikri, perang budaya, yang berujung pada kekalahan dan melahirkan mentalitas ‘kaum terjajah’ yang bangga apabila dapat meniru sikap dan perilaku penguasa penjajahnya.
3. Kelompok yang menerima demokrasi secara moderat.
Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa pemimpinnya. Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.
Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam pemerintahan yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi terhadap jalannya pemerintahan.
Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada mereka; juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya; bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai.
Kelompok ini juga berpandangan, apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah (eksekutif) dengan parlemen (legislatif), atau dengan tokoh-tokoh masyarakat, dalam masalah yang berkaitan dengan syari’ah; maka perbedaan tersebut dibawa, untuk ditengahi, kepada Majelis Ulama atau bahkan Mahkamah Konstitusi yang mengundang ulama-ulama yang berkompeten di bidangnya, agar ditetapkan keputusannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian. Apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.”[9]
Sementara jika terjadi perselisihan pendapat dalam masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakatan yang masuk dalam kategori mubah, maka yang pengambilan keputusannya diupayakan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
Apabila tidak tercapai mufakat, maka bisa melalui pengambilan pendapat melalui suara terbanyak (voting); karena pendapat dua orang atau lebih dekat kepada kebenaran daripada pendapat satu orang. Hal ini sesuai dengan logika syari’at Islam, disamping logika politik yang memang “harus ada yang diunggulkan”. Yang diunggulkan ketika terjadi perselisihan pendapat adalah jumlah yang terbanyak.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang dan dia menjauh dari orang berdua.” (HR. At-Tirmidzy dan Al-Hakim).[10]
Nabi saw juga pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, “Seandainya kalian berdua menyepakati suatu pendapat, tentu aku tidak akan menyalahi kalian berdua.” (HR. Ahmad).[11]
Dengan kata lain, pendapat yang didukung dua orang lebih diunggulkan daripada pendapat seorang, sekalipun itu pendapat Rasulullah saw, selagi dalam masalah-masalah di luar lingkup syari’at dan apa yang telah ditetapkan Allah.
Bahkan dalam kasus Uhud, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi harus mengikuti pendapat mayoritas karena sebagian besar Sahabat memilih untuk menghadapi orang-orang musyrik di luar Madinah, walau beliau sendiri bersama beberapa Sahabat terkemuka berpendapat untuk bertahan saja di dalam kota Madinah sembari berperang gerilya di jalan-jalan Madinah yang seluk-beluknya sudah mereka hapal.
Yang paling nyata mengenai pendapat mayoritas ini adalah sikap Umar bin Khathab tentang enam orang anggota Majelis Syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai Tim Formatur sekaligus diberi amanah untuk memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah berdasar suara terbanyak.
Sedang yang tidak terpilih dari tim tersebut harus patuh dan tunduk kepada kandidat terpilih. Jika dalam voting tersebut suara yang diperoleh tiga lawan tiga, mereka harus mengambil suara dari luar tim formatur, yakni Abdullah bin Umar.
Dalam beberapa hadits juga dinyatakan pujian terhadap “golongan terbesar” dan perintah untuk mengikutinya. “Golongan terbesar” ini maksudnya adalah golongan mayoritas diantara umat manusia.
Menurut beberapa ulama, hadits ini berkaitan dengan pelibatan seluruh rakyat dalam penentuan Khalifah atau masalah-masalah kenegaraan yang harus diputuskan dan membutuhkan pendapat mayoritas.
“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tujuh puluh dua golongan; dan sesungguhnya umat ini (Islam) lebih banyak satu golongan dibanding mereka. Semuanya masuk neraka kecuali golongan terbesar.” (HR. Ath-Thabrany dan Ahmad)[12]
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly berpendapat dalam beberapa tulisannya, bahwa pendapat mayoritas lebih diunggulkan jika ada dua sisi pandang yang serupa.
Pendapat yang menyatakan pengunggulan hanya berlaku untuk pendapat yang benar walau hanya didukung satu suara dan menolak pendapat yang keliru walau didukung mayoritas suara, adalah untuk hal-hal yang dikuatkan nash syari’at dengan dalil dan hujjah yang kuat, jelas dan tidak mengandung perbedaan pendapat di kalangan ulama. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan: “Yang disebut jama’ah adalah yang sejalan dengan kebenaran, sekalipun engkau hanya sendirian.”
Sedangkan untuk hal-hal ijtihadiyah yang tidak ada dasar nash-nya, atau ada nash-nya namun mengandung lebih dari satu penafsiran, atau ada nash lain yang bertentangan dengannya atau lebih kuat darinya; maka diperbolehkan untuk memilih salah satu yang diunggulkan agar bisa menuntaskan silang pendapat.
Dan voting, pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak merupakan cara yang tepat untuk itu. Tidak ada satupun dalil dalam syari’at yang melarang proses pengambilan keputusan dengan cara seperti ini.
Walau sistem demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia, bukan berarti sistem ini tercela dan harus ditolak. Bukankah Allah telah memerintahkan manusia untuk mengoptimalkan penggunaan akal fikiran?
Kita diperintahkan untuk berfikir, membaca, mengkaji, merenung, mengambil pelajaran dan hikmah, serta berijtihad? Tentu hasil ijtihad itu perlu ditimbang lebih dahulu, apakah bertentangan atau bersesuaian dengan ajaran Allah.
d.      Piagam Madinah, Praktek Pemerintahan Demokratis Warisan Nabi SAW.
Berbicara tentang demokrasi, ingatan kita diajak untuk menerawang jauh kebelakang, yaitu pada tahun 622 M. Piagam Madinah atau ‘Mitsaqal Madinah’ yang lembaran tertulisnya ( shahifat ) berfungsi sebagai dasar hukum dan konstitusi dalam mempersatukan penduduk Madinah dari semua golongan (suku, agama, dan ras). Inilah sebuah piagam yang merupakan cikal bakal sebuah negara demokrasi moderen. Mitsaqal Madinah yang lembarannya terinspirasi dari wahyu ilahi dan berisikan empat belas prinsip yang mengatur jalannya roda kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Walaupun pada saat itu belum ada sebutan negara kepada Islam yang berada di kota Madinah secara dejure, namun secara defacto, kaum muslimin dibawah komando Nabi Muhammad SAW telah mempraktekan kehidupannya sebagai sebuah negara yang demokratis.[13]
Dari ke empat belas prinsip itu, prinsip pertama adalah ‘prinsip keumatan’, dimana dalam lembaran itu ditegaskan bahwa pada kenyataannya karakter manusia sebagai makhluk sosial , membutuhkan kerja sama antara satu dengan yang lainnya, dan hidup berkelompok. Setiap kelompok dapat dibedakan dari segi keyakinan dan agama yang mereka anut, dari segi etnis-budaya, prinsip politik, kepentingan ekonomi, pola pikir dan pandangan hidup. Hal-hal diatas sesuai dengan tekstual al Qur’an yang menyatakan memang manusia hidup berkelompok agar mereka saling kenal mengenali, (‘waja’alnakum syu’uban waqabaila lita’arafu’)[14]. Dan al Qur’an juga menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia itu lemah, ‘ wakhuliqal insanu dha’ifa’ . Karena itu mereka harus membentuk kerja sama dalam kebaikan dan taqwa (wata’a wanu alal birri wattaqwa’), sebagai wujud menjaga kelestarian hubungan antar manusia (hablum minannas).
Prinsip kedua dalam piagam itu adalah ‘Persatuan dan Persaudaraan’. Pembentukan umat bagi kaum muslimin disatu pihak dan bagi orang-orang muslim bersama kaum Yahudi, Nashrani di pihak lain menunjukkan betapa pentingnya prinsip tersebut. Artinya, di dalam oraganisasi umat terkandung makna persatuan persaudaraan, baik persatuan dan persaudaraan seagama, maupun persatuan dan persaudaraan kemanusiaan antar pemeluk agama.
Karena suatu umat, atau bangsa dan negara tidak akan pernah berdiri tegak bila di dalamnya tidak terdapat persatuan dan persaudaraan masyarakatnya. Persatuan dan persaudaraan tidak akan terwujud tanpa adanya saling bekerja sama dan kasih sayang dan untuk kebaikan. Hal itu ditegaskan nabi dalah shahifatnya pada pada ‘wa annal yahuda yunfiquna ma’al mukminana ma damu.” Dan “wa anna bainahumun nashra ‘ala man haraba ahla hadzihish shahifati wa anna bainahumun nashha wannashihata wal birradunal itsmi…’[15] orang-orang Yahudi bersama-sama dengan orang-orang mukmin saling membantu dalam menghadapi orang yang menyerang terhadap pemilik Piagam, saling menasehati dan memberi saran, dan berbuat baik, bukan berbuat dosa.
Lebih jauh dapat dijelaskan, bahwa di dalam ketetapan yang menghendaki terwujudnya persatuan dan persaudaraan di kalangan penduduk Madinah, juga menggambarkan bentuk hubungan antara golongan Islam dan Non Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW tidak membentuk persatuan dan persaudaraan yang eksklusif bagi umat Islam saja.[16]
Oleh karena itu, prinsip persatuan dan persaudaraan yang diletakkan Nabi SAW dapat dikatakan pertama dalam sejarah kemanusian. Bahkan menurut Robert N Bellah, seorang pakar sosiologi agama-agama, prinsip-prinsip yang diletakkan Nabi SAW sangat moderen pada zamannya. Di era moderen ini, setiap pemerintahan suatu negara memandang prinsip persatuan dan persaudaraan merupakan hal yang harus dibina dan ditegakkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan pembangunan di segala bidang.[17]
Prinsip ketiga dalam Piagam Madinah adalah ‘Prinsip Persamaan’. Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat yang cenderung kepada kefanatikan terhadap suku, dan darah turunan (nasab), sehingga mereka terjerumus ke dalam pertentangan, kekacauan yang merusak tatanan sosial, politik dan ekonomi. Mereka tidak mengenal adanya prinsip persamaan antara sesama manusia.
Satu kabilah dengan kabilah lainnya tidak saling mendukung dan melindungi. Bahkan satu kabilah adalah musuh bagi kabilah lainnya yang harus dilenyapkan. Karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari kabilah lainnya, sehingga mereka sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada rasa kepedulian sosial terhadap kabilah yang lain. Itulah yang disadari oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga dalam piagamnya menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial. Ketetapan ini berkaitan dengan kemashlahatan umum yang menjamin hak-hak istimewa mereka sebagaimana hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kaum muslimin. Sebab prinsip persamaan dalam Islam adalah pengakuan hak-hak yang sama antara kaum muslimin dan bukan muslimin.
Persamaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan dapat dirujuk dalam jiwa pada shahifat tersebut yang menyatakan, bahwa penduduk Madinah adalah umat yang satu, yaitu umat yang memiliki status yang sama dalam kehidupan sosial, hak membela diri, persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota Madinah, persamaan kewajiban dalam memikul belanja perang bila diperlukan, persamaan hak dalam memberikan saran dan nasehat untuk kebaikan, dan persamaan hak kebebasan dalam memilih agama dan keyakinan, serta hak mengatur kehidupan ekonomi masing-masing juga sama, ‘waannal yahudi nafaqatahum wa ‘alal muslimina nafaqahum’.
Prinsip di atas sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad, ‘Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu (Allah SWT), dan bapak kamu satu (semua berasal dari nabi Adam as). Ingatlah, tidak ada keutamaan orang Arab dengan orang yang bukan Arab (a’jami), dan tidak pula sebaliknya, tidak ada keistimewaan orang kulit berwarna (ahmar) dengan orang kulit hitam dan sebaliknya, kecuali karena ketaqwaannya”.[18]
Demikian juga al Qur’an menegaskan tentang prinsip-prinsip persamaan yang menerangkan asal usul kejadian manusia, yaitu dari setetes air mani, dan setelah itu menjadi segumpal darah dan membentuk segumpal daging dan seterusnya.[19]
Walaupun disadari, bahwa antara manusia terdapat perbedaan dari segi jenis kelamin, warna kulit (ras), sifat pembawaan, bakat, kekuatan fisik, ketrampilan, kemampuan intelektual dan pendidikan, kedudukan sosial-ekonomi, dan sebagainya, namun sebagai manusia, mereka adalah sama dan tetap sama.
Perbedaan perbedaan yang nyata ini bukan alasan untuk saling membedakan satu sama lain, sebaliknya dengan adanya perbedaan itulah umat manusia untuk saling mengenali dan membantu sesama mereka. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim, Ibn Majah. Ahmad dari Abu Hurairah, ‘Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk dan rupa kamu, dan harta kamu, akan tetapi Allah hanya memandang kepada hati kamu dan amal perbuatan kamu.”
Dalam prinsip persamaan ini, Nabi SAW menetapkan agar akar-akar fanitisme jahiliyah yang berbangga diri dengan keturunan dan ras nya atau kekayaannnya dapat dihilangkan dan memunculkan rasa kebersamaan yang melahirkan persatuan dan persaudaraan sejati, sehingga harkat dan martabat kemanusiaannya dapat terangkat dan juga dapat mengembangkan potensi setiap diri secara wajar dan layak .
Demikian juga sepirit Al-Qur’an yang menjelaskan adanya perbedaan warna kulit dan lainnya, bukan untuk menunjukkan superioritas mereka, tetapi lebih dari itu agar satu warna dengan warna lainnya dapat mengenali karakter sehingga dapat dijalinnya suatu kerja sama.

KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat kiranya diambil kesimpulan bahwa; pertama, dalil yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi, sehingga keduanya tidak dapat dipertemukan juga tidaklah tepat, karena pada dataran empirik, kalau Negara Indonesia dijadikan sebagai studi kasus, harus diakui bahwa Indonesia, yang merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, ketika demokrasi diterapkan, hampir tidak ada penolakan yang berarti, dan tuntutan demokratisasi justru mengalir deras dari kalangan aktifis dan cendekiawan muslim, dan dipelopori oleh organisasi massa Islam terbesar di Insonesia, bahkan mungkin di dunia, yaknu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Demokrasi, justru menjadi kebutuhan atas terujudnya tatanan Negara yang diidamkan.
Kedua, Bahwa tidak ditemukan adanya pertentangan yang mendasar antara ajaran Islam dengan Demokrasi, bahkan, spirit demokrasi, secara keseluruhan tidaklah bertentangan dengan prinsi-prinsip ajaran agama Islam, antara lain : musyawarah, amar ma’ruf nahi munkar yang diterjemahkan dalam mekanisme check and balance, pengawasan (mutaba’ah), kontrol (muraqabah) dan evaluasi, saling menasehati (taushiyah), mencari mashlahat dan menghindari madharat, menegakkan keadilan dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.
Ketiga, sebagai contoh, Kalau dalam demokrasi kebebasan harus diwujudkan bagi setiap individu rakyat, disimpulkan dalam empat kebebasan pokok, yakni : (1) kebebasan beragama (freedom of religion), (2) kebebasan berpendapat (freedom of speech), (3) kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan (4) kebebasan berperilaku (personal freedom). Maka dalam ajaran Islam, dikenal perlindungan terhadap lima macam hak politik warga Negara, yang dikenal dengan istilah adloruriyatul khoms, yakni : Kebebasan Beragama (al khifdu al dien), Kebebasan berfikir (al khifdlu al aql), kebebasan property/ekonomi (al khifdlu al maal), kemerdekaan mempertahankan kehormatan/harga diri (al khifdlu al irdl), dan kemerdekaan repoduksi (al-hifdlu al nashl).
Ini bukti bahwa kalau ada yang kurang dalam konsep demokrasi, konsep kepemerintahan Islam justru melengkapinya, sehingga tujuan utama pemerintahan, yakni untuk menciptakan kemaslahatan umat, sesuai kaidah fiqhiyyah : “tashorruful imam ‘ala roiyah, manuuthun bil maslahah”, kebijakan pemerintah atas rakyatnya, harus selalu mengacu pada kemaslahatan, akan terujud.
Keempat, bahwa sejarah perkembangan Islam justru membuktikan, bahwa pemerintahan Islam yang bersendikan nilai-nilai demokrasi, justru tumbuh subur pada masa awal peletakan dasar ke-Islaman, yakni pada masa awal hijriyah, ketika Rosululloh SAW mengupulkan suku-suku yang ada di Yastrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah, untuk menyepakati perjanjian yang mengikat masng-masing hak dan kewajiban selaku warga Negara, dalam ikatan Piagam Madinah (Al-Mitsaq Al madinah). Keseluruhan konsep dasar dalam Piagam Madinah, adalah representasi sistim demokrasi yang kita kenal saat ini.
Masa awal Islam di Madinah, adalah bukti nyata bahwa jauh sebelum konsep demokrasi diperkenalkan ke dunia Islam, telah ada praktik kenegaraan yang sangat sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, yakni pemerintahan Islam di Madinatul Munawwarah, yang diikat dengan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Piagam Madinah.

Cilacap, 11 Maret 2011
Penulis

MOH. TAUFICK HIDAYATTULLOH

DAFTAR PUSTAKA


A. Ubaeillah dan Abdurrozaq, dkk. (Peny.) Demokrasi, hak Asasi manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatulloh, Jakarta, Edisi Revisi II, 2006
Abu Abdillah Al Anshari Al Qurtubi, Al Jami’ Lil Akhkaamil Qur’an, Darul Kutub Al Arabi, Kairo, 1387 H / 1967 M.
Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran Civil Society Dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, bandung, Cetakan Pertama, Oktober 1999
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Toha Putra Semarang, 1989.
Nurcholis Majid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1995
Robert N Bellah, Beyond Belief, Herper and Row, New York, 1976.
http : //ekomarhendi.wordpress.com



[1] Makalah, disusun sebagai Tugas Mata Kuliyah : Pendekatan Dalam Pengkajian Islam, Pada Program Paska Sarjana Magister Pendidikan Islam Universitas NU Surakarta, dengan Dosen Pengampu : Prof. DR. H. Abdullah Hadzik, MA.
[2]  Mahasiswa Paska Sarjana Magister Pendidikan Islam Universitas NU Surakarta.
[3] A. Ubaeillah dan Abdurrozaq (Peny.) Demokrasi, hak Asasi manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatulloh, Jakarta, Edisi Revisi II, 2006, Halaman 132-124
[4] Tafsir Al-Qurthubi, Darul Kutub Al-Mishriyah, jld. 4, hlm.249. Lihat juga Al-Muharrar Al-Wajiz, Ibnu Athiyah Al-Andalusi, jld.1, hlm.534.
[5] QS. Ali Imran, 3:159.
[6]  QS. Al-Mujaadalah, 58:12
[7] Hadits ini hasan menurut At-Tirmidzy dan shahih menurut Ibnu Hibban. Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terkandung musyawarah yang berkaitan dengan penetapan hukum.”

[8] HR. Muslim dalam Bab Al-Jum’ah, no.867; Ahmad dalam Al-Musnad, no.14334; An-Nasa’i dalam Bab Shalat Al-Idain, no.1578; Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah, no.45.

[9]  QS. An-Nisaa’, :59
[10] Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits hasan shahih gharib yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab. Adz-Dzahaby menshahihkannya menurut syarat Asy-Syaikhani (Bukhari –Muslim).
[11] Hadits ini diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ari. Di dalam sanadnya ada Syahr bin Hausyab. Menurut Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, dia dapat dipercaya (tsiqah) namun banyak hal yang meragukan. Ahmad Syakir min-tsiqah-kannya dalan Takhrijul-Musnad.
[12] Lihat Al-Mu’jamul Kabir, 8/8035, dan disebutkan pula oleh Al-Haitsamy di dalam Majma’uz-Zawa’id. Ath-Thabrany juga meriwayatkan dalam Al-Ausath wal Kabir, serupa dengan hadits di atas.
Ath-Thabrany dan Ahmad meriwayatkan di dalam Al-Musnad secara mauquf pada Ibnu Abi Aufa, dia berkata, “Wahai Ibnu Jahman, hendaklah kamu bersama mayoritas umat, jika kamu mendengar aspirasi umat kepada penguasa. Datangilah penguasa tersebut, sampaikan aspirasi umat, mudah-mudahan dia menerimanya. Jika tidak, tinggalkan dia, karena kamu bukan orang yang lebih tahu dari dia.” (HR. Ahmad, dalam Al-Musnad, no.1941)
Ibnu Ashim meriwayatkan di dalam Al-Sunnah dari Ibnu Umar,”Tidak mungkin bagi Allah untuk menghimpun umat ini dalam kesesatan selamanya, dan tangan Allah di atas jama’ah. Maka hendaklah kalian mengikuti golongan terbesar. Sesungguhnya siapa yang menyimpang, maka ia akan menimpang ke neraka.” Menurut Al-Albany, isnadnya dha’if. Al-Hakim meriwayatkan hadits yang serupa ini dari beberapa jalan.
[13] Ahmad baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran Civil Society Dalam Islam Indonesia, Pustaka Hidayah, bandung, Cetakan Pertama, Oktober 1999 Halaman 221 - 222
`[14] QS. Al-hujarat : 13
[15] Pasal 24 dan 38 Piagam Madinah
[16] Nurcholis Majid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1995, Halaman 187.
[17] Robert N Bellah, Beyond Belief, Herper and Row, New York, 1976, Halaman 150-151
[18] Juga ditegaskan di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Hujarat : 13 : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
[19] QS. An-Nisa : 1, QS. Al-A’raf : 189, QS. Azzumar : 6, QS. Fathir : 11 QS. Al-Muukmin : 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar